Rabu, 22 Februari 2012

Visi Pembangunan kota AIR DI DUNIA


 
   Sudah merupakan fenomena era global yang ditunjukan kota-kota dunia di negara maju pada akhir akhir ini, dimana visi pembangunan masa depan kotanya dirancang sebagai refleksi strategi kota tersebut untuk merebut posisi ’world status’, sebagai strategi memasuki ajang perlombaan persaingan yang keras yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Hal ini dapat dilihat sebagai esensi semangat globalisasi. Survival merupakan esensi perjuangan, strategi masa depan menjadi fenomena dinamika pembangunan kota-kota besar di dunia. Berbicara tentang kota pantai atau waterfront city, maka kita berbicara tentang sejarah penjelajahan bangsa-bangsa maritim dunia pada era pencerahan abad ke-17-18 di Eropa,untuk mengeksplorasi kawasan ’new frontier’ sebagai kawasan-kawasan yang penuh misteri dibalik ’ujung lautan’ dibalik ’bola dunia’ yang dilayari. Jiwa petualangan bangsa untuk mengarungi dunia menjadi ajang perlombaan persaingan antar bangsa-bangsa dalam penjelajahan lautan yang penuh risiko. Berbagai mitos, semangat dan etos kepahlawanan sebagai bangsa bahari yang gagah perkasa dalam mengarungi lautan merupakan kebanggaan berbagai bangsa–bangsa pelaut dunia yang tercatat dalam sejarah dunia, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, Cina, dan lain-lain. Jejak perjalanan mereka ditandai dengan bandar-bandar pelabuhan lama yang mencerminkan monumen sejarah pelayaran mengarungi lautan yang tersebar di seantero dunia. Berbagai kota-kota pelabuhan lama dunia telah menggali sejarah masa lalu sebagai inspirasi masa depan pembangunan kota melalui rancangan masterpiece.
 
 
Karya masterpiece itu dianggap sebagai landmark kebanggaan yang membangkitkan kenangan kejayaan masa lalu, yang dibutuhkan bagi membangun rasa percaya diri untuk menatap masa depan kota tersebut. Kota pelabuhan masa lalu menjadi ikon kota yang mengangkat kembali wibawa, gengsi dan pamor kota, bahkan mengimbas pada kebangkitan pamor bangsa dan negara dimana kota tersebut berada. Kawasan inilah awal mula dikenal dalam nama bergengsi, sebagai ’waterfront city’. Pembangunan waterfront city berkembang sebagai trend pembangunan kawasan perkotaan yang paling bergengsi yang populer. Pendekatan pembangunan kota pantai memiliki jangkauan yang luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut. Pembangunan kawasan waterfront city pada awalnya dikenal orang sebagai inovasi Amerika, yang melahirkan suatu pendekatan pembangunan kota pantai atau Bandar lama sebagai bagian dari pembangunan kota. Sebagai contoh yang signifikan adalah pembangunan penataan kota bandar Baltimore bagi mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an.
 
 
Pada masa itu kota-kota bandar di Amerika mengalami proses pengkumuhan yang mengkhawatirkan. Baltimore tak luput sebagai salah satunya. Dari kota inilah konsep pembangunan kota pantai dilahirkan, yang diakui sebagai strategi solusi dari keterpurukan kota-kota besar di Amerika. Pada masa itu Baltimore menghadapi persoalan yang berat, seperti pertumbuhan ekonomi negatif, memburuknya infrastruktur kota, terutama kota tua/bandar lama, tertariknya masyarakat pada promosi kehidupan yang ’lebih baik’ pada kawasan ’new town’ sebagaisuatu pilihan, pindahnya besar-besaran atau eksodus penduduk kota tua/bandar lama ke kota baru/new town, masuknya ’the blacks’ mengisi kekosongan di sudut-sudut kawasan kota tua/bandar lama, naiknya tingkat kriminal i tas, penurunan kual i tas kehidupan dan kondisi kota tua/Bandar lama akibat proses pengkumuhan yang terus berlanjut. Dipiha klain pemerintah kota menunjuk an ketidakberdaya an mengatasi situasi yang terus memburuk.
 
 Beruntunglah kota ini memiliki seorang ’urban visioner’ bernama James Rouse yang berjiwa nasionalis, yang tak rela melihat keterpurukan bandar lama yang sarat dengan lapisan sejarah patriotisme perjuangan Amerika mencapai kemerdekaan. Dia tampil dengan sebuah gagasan pembangunan sebagai solusi. Penerapan visi Rouse yang didukung pemerintah kota pada akhirnya berhasil memulihkan situasi, yang dianggap sebagai keajaiban Amerika dalam memulihkan kota dari belitan resesi ekonomi. Resep James Rouse selanjutnya banyak mempengaruhi perencanaan kota, dan penerapannya dianggap sebagai revolusi dalam pembangunan kota. Keberhasilan Baltimore kemudian diangkat sebagai model untuk diterapkan sebagai strategi pembangunan kotakota bandar, yang merupakan ’model Amerika’ sebagai “the great show cases of urban revitalization”. Rouse dianugerah Penghargaan dari Presiden Clinton sebagai Pahlawan Revitalisasi Amerika yang telah mengenalkan keajaiban kebangkitan kota dari kebangkrutannya, yang ditiru berbagai kota pantai di seantero Amerika, bahkan padakota-kota bandar di dunia. Peristiwa ini merupakan awal mula kelahiran penataan ulang kawasan bandar lama yang disebar luaskan dalam mass media sebagai pembangunan waterfront city. Dalam sejarah perkotaan, pembangunan kawasan pantai/waterfront city berkaitan dengan siklus jatuh bangunnya sebuah kota yang berawal mula dari pertumbuhannya dari sebuah cikal bakal kota tersebut yang dianggap sebagai kota induk, yang berkembang menuju posisinya yang sekarang sebagai kota besar pada masa kini.
 
Transformasi The Golden Time Menjadi The Hard Time Kota Pantai
 
Bermula pada sebuah kota di tepian laut atau sungai, yang dianggap sebagai kota pantai (baca: kota tepi laut, sungai/ danau), kota pada era ini dikenal sebagai ’The Golden Time’ kota pantai. Kota-kota ini tumbuh berkembang, sejalan dengan sejarah kemajuan peradaban manusia, serta lompatan-lompatan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai proses budaya yang menyertainya. Peradaban manusia era industri telah mempengaruhi struktur kota. Transformasi struktur kota era pra revolusi industri yang penuh romantika dengan ciri sebagai waterfront city yang indah. harus berhadapan dengan kota yang melayani fungsi yang berlainan akibat revolusi industri. Revolusi industri telah memacu perubahan karakter kota yang pada mulanya terintegrasi dengan laut/sungai/danau, berdampingan dengan kota yang berkarakter berbeda. Kota awal sebagaikota induk yang dikenal sebagai waterfront city harus terintegrasi pada fungsi baru sebagai kota industri.
 
Benturan kepentingan tak terhindarkan. Dualistik karakter kota pantai, di satu pihak sebagai kota berbudaya kota pantai harus berhadapan dengan karakter baru kota industri, yang ditandai dengan pembangunan kepentingan baru yang membutuhkan efisiensi dalam pemanfaatan lahan bagi pembangunan industri, bahkan bagi pengembangan pelabuhan, dan pergudangan dengan pembangunan sarana transportasi yang memilih sasarannya pada kawasan yang ’rawan’ yaitu kawasan kota pantai. Tak pelak kawasan pantai menjadi ajang pembangunan industrialisasi, yang memacu kota pantai sebagai ajang pembangunan industrialisasi. Sarana penghubung antar kawasan-kawasan pelabuhan, industri, pergudangan dilayani oleh sebuah infrastruktur jalan raya yang membelah kota-kota pantai (sebagai kota induk) dengan pertumbuhan kota tersebut kearah daratan, sebagai konsekuensi terblokirnya pertumbuhan pada kawasan pantai.
 
Sebaliknya kota pantai berkembang sebagai kawasan kumuh akibat kekerasan karakter yang diciptakan oleh visi kota industri (ingat film ’On the waterfront’ yang dibintangi oleh MarlonBrando). Perusakan Bandar Lama diakibatkan cara pikir dan sikap hidup manusia pada era revolusi Industri dan revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dengan mengatas namakan pembangunan “modernisasi”. Implementasi moderni sasi yaitu melaksanak an pembangunan “peremajaan kota” dengan sasaran kota masa lalu yang dianggapnya tidak efisien untuk mengakomodasi tuntutan pertumbuhan ekonomi sebuah kota (seperti, Sunda Kelapa ). Dipihak lain pengkumuhan bandar lama era resesi ekonomi dunia tahun 70an telah memojokan keberadaannya pada posisi sebagai beban kota semata. Hal tersebut menginspirasi kelahiran gerakan restorasi bandar lama dalam motivasi penyelamatan sebuah pusat peradaban manusia. Era ini dikenal sebagai ’Hard Time’ kota pantai
 
Kebangkitan the Golden Time Kota Pantai
 
Sebuah siklus yang mewarnai pengembangan kota untukkembali pada era ’Golden Time’ ditandai dengan kebijakan pemindahan sektor pelabuhan, industri dan pergudangan keluar kawasan kota pantai, akibat tuntutan efisiensi untuk melayani kemajuan teknologi maritim yang membutuhkanlahan yang luas bagi pembangunan pelabuhan berskala luas. Kawasan kota industri menjadi kosong dan ’idle’ atau mubasir yang membutuhkan suatu visi yang inovatif bagi membangkitkan kembali pada pamor lama, yaitu sebagai kota pantai. Kebijakan membangkitkan kembali kawasan ex industri sebagai kota pantai/ waterfront city inilah yang mengawali visi kembali ke laut dari pembangunan sebuah kota. Percontohan yang dapat diungkap sebagai kasus disini adalah proyek ’Urban Regeneration’ kota-kota pelabuhan lama di Inggris, seperti London Dockland (London) , Albert Dock (Liverpool), dan lima proyek urban regeneration pelabuhan lama lainnya di seantero Inggris. Proyek ini merupakan gagasan Perdana Menteri Thatcher, yang mencanangkannya sebagai ’the decade of achievement’, sebuah gagasan yang membangkitkan kembali ingatan ’British rules seven waves’ yang mengangkat wibawa dan gengsi Inggris sebagai bangsa yang jaya di lautan.
 
 Era ini dikenal kembali sebagai ’Golden Time’ kebangkitan kota pantai. Perhatian manusia kini terfokus pada pembangunan kota pantai yang sarat mewadahi mitos kebesaran masa lalu, yaitu tak lain adalah kawasan bandar lama yang penuh kenangan akan kejayaan para founding fathers yang telah meletakkan pondasi bagi pembangunan masa depan, sebagai penggugah generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan sebagai panggilan sejarah. Demikianlah awalmula kelahiran fenomena pembangunan kota pantai didunia.
 
 
Pemanfaatan Pengembangan Kota Pantai
 
Pembangunan kawasan kota pantai tak terlepas dari pembangunan pencitraan kawasan ini sebagai kebanggaan sebuah kota, yang merupakan kekuatan daya tarik kota tersebut sebagai kota dunia yang berkarakter dan berwibawa. Dipihak lain pembangunan karakter kawasan ini tak terlepas dari tujuan mengantisipasi persaingan kota bagi tujuan merebut pasar, melalui pembangunan dengan mengangkat kekuatan keunggulan citra sedemikian rupa sehingga membangkitkan daya tarik yang kompetitif bagi tujuan kepariwisataan, bisnis dan investasi. Untuk itu pula kota-kota dunia berlomba membangun citra yang kompetitif, dengan mengangkat semangat kota, yang pada umumnya dikaitkan dengan semangat masa lalu kota tersebut. Bandar lama merupakan elemen kota pantai yang berposisi sebagai landmark kebanggaan  sebuah kota. 
 
Beberapa contoh bandar lama yang dibangun sebagai kota pantai yang mengangkat pamor sebuah kota yang terkenal adalah, bandar lama Inner Harbor di Baltimore, bandar lama Faneuil Hall di Boston, London Dockland di London, Inggris, Bandar lama Darling Harbour di Sydney Australia, Alloha Tower di Hawaii USA, Boat & Clarke Quay di Singapore , Port Vell di Barcelona, Spanyol, Minato Mirai 21, Yokohama, kota pantai Cape Town, Dubai serta Sunda Kelapa Jakarta dan Kawasan Pantura Jakarta. Semuanya ditujukan sebagai sarana bagi mengangkat gengsi dan menumbuhkan ekonomi kota sekaligus devisa negara, disamping mengangkat PAD kota.
 
Bagaimanakah Dengan Indonesia?
 
Contoh di atas merujuk pada konsep dua kasus Amerika dan kasus Inggris dalam pembangunan waterfront city, keduanya berlandaskan suatu motivasi yang kuat untuk kebangkitan’national pride’ yang pada gilirannya mengimbas pada kebangkitan ekonomi. Berbicara tentang pembangunankota pantai atau bandar lama di wilayah Nusantara, maka kita berbicara tentang sejarah kebesaran kejayaan Nusantara yang melatarbelakangi karakter kota bandar tersebut. Adalah merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa tiga setengah abad kolonialisme telah meninggalkan sebuah misteri tentang pemudaran semangat bahari, hal mana mempengaruhi kekuatan citra dan karakter bandar lama di Indonesia.
 
Kita menyadari bahwa Indonesia sebagaimana Inggris adalah merupakan sebuah bangsa bahari besar dari sebuah Negara kepulauan terbesar didunia. Merupakan suatu kenyataan bahwa perjalanan sejarah bahari Nusantara terpenggal tiga setengah abad pada era kolonialisme, merupakan proses penyusutan budaya bahari yang mengikutinya. Fenomena ini mempengaruhi pembentukan karakter kota-kota Bandar di Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad sepanjang era kolonialisme. Transformasi budaya bahari yang berkesinambungan merupakan fenomena (meminjam istilah Alvin Toffler) ’gegar budaya’ yang dapat kita lihat dengan kasat mata sekalipun pada karakter kota Bandar Nusantara yang seolah kehilangan roh kejayaan masa lalu. Citra bandar lama warisan era kolonial terasa sebagai cerminan grand scenario semangat kolonialisme. Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama warisan kebesaran kejayaan sejarah Nusantara, menggugah kita untuk membangkitkan kembali karakter kejayaan bandar lama tersebut, yang membutuhkan sentuhan kesejarahan bagi merumuskan strategi masa depan kota bandar tersebut.
 
Karena itu pengenalan kesejarahan amat dibutuhkan, tanpa pengenalan akan jejak sejarah, sulit kita merumuskan konsep pembangunan kota pantai untuk disandingkan sejajar dengan konsep pembangunan kota-kota pantai dunia sebagaimana di atas. Kita tidak ingin membangun kota pantai sekedar melanjutkan konsep ’budaya kolonial’ yang mendominasi cara pandang dan cara pikir kita dalam merumuskan pembangunan masa depan. Kita tidak ingin terjebak pada semangat inferioritas yang masih mendominasi mind set kita (baca: mind set ’inferioritas’). Hal ini hanya akan melanggengkan dominasi pembangunan karakter ’a-historis’ kota bandar yang diwariskan pada era colonial kepada kita.
 
Benchmarking pada contoh kasus Amerika dan Inggris yang menginspirasi gerakan pembangunan kota-kota pantai di dunia, mengirim pesan sinyal kepada kita pada pilihan-pilihan sebagai berikut: pertama, belajar dari para pionir pendahulu pembangunan kota pantai/ bandar lama sebagai bagian dari kebangkitan ‘national pride’ dan kebangkitan ekonomi kota sebagaimana contoh diatas; kedua, membangun kawasan kota pantai secara praktis, berdasar warisan masa lalu sebagai suatu kenyataan yang ’given’ untuk diolah dan dikembangkan sebagai daya tarik wisata kota semata; ketiga, membangun kota pantai sebagai konsep bebas tergantung kekuatan ekonomi serta imajinasi investor developer semata.
 
Penutup
 
Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks pembangunan revitalisasi bandar lama merupakan fenomena yang universal bagi membangkitkan kembali jiwa dan roh kejayaan masa lalu, yang berguna sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan masa depan sebuah kota. Posisi strategis yang dimiliki sebuah bandar lama sebagai landmark nasional, merupakan peluang bagi membangkitkan jatidiri dan karakter kota, bahkan sebuah bangsa dan negara, yang memberi arti dan makna serta rasa percaya diri untuk diwariskan pada anak cucu sebagai generasi penerus. Jakarta sebagai ibukota negara bahari terbesar di dunia, potensial merupakan ikon yang menginspirasi gagasan kebangkitan semangat bahari pada kawasan kota Bandar yang tersebardiseantero Nusantara. Pembangunan kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama yang merefleksi kebangkitan citra terpendam kebesaran kejayaan masa lalu Nusantara merupakan keunggulan kompetitif untuk diangkat bagi pembangunan ’national pride’ dan kebangkitan ekonomi nasional. Pembangunan kota pantai di Indonesia merupakan peluang bagi kebangkitan kekuatan citra sebuah bangsa bahari menghadapi kompetisi meraih world status bergengsi sebagaimana tuntutan persaingan kota-kota dunia pada era global. Visi pembangunan kota pantai diharapkan merupakan bagian dari strategi budaya bangsa dalam menyongsong era global
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar