Visi Pembangunan kota AIR DI DUNIA
Sudah
merupakan fenomena era global yang ditunjukan kota-kota dunia di negara
maju pada akhir akhir ini, dimana visi pembangunan masa depan kotanya
dirancang sebagai refleksi strategi kota tersebut untuk merebut posisi
’world status’, sebagai strategi memasuki ajang perlombaan persaingan
yang keras yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Hal ini dapat
dilihat sebagai esensi semangat globalisasi. Survival merupakan esensi
perjuangan, strategi masa depan menjadi fenomena dinamika pembangunan
kota-kota besar di dunia. Berbicara tentang kota pantai atau waterfront city,
maka kita berbicara tentang sejarah penjelajahan bangsa-bangsa maritim
dunia pada era pencerahan abad ke-17-18 di Eropa,untuk mengeksplorasi
kawasan ’new frontier’
sebagai kawasan-kawasan yang penuh misteri dibalik ’ujung lautan’
dibalik ’bola dunia’ yang dilayari. Jiwa petualangan bangsa untuk
mengarungi dunia menjadi ajang perlombaan persaingan antar bangsa-bangsa
dalam penjelajahan lautan yang penuh risiko. Berbagai mitos, semangat
dan etos kepahlawanan sebagai bangsa bahari yang gagah perkasa dalam
mengarungi lautan merupakan kebanggaan berbagai bangsa–bangsa pelaut
dunia yang tercatat dalam sejarah dunia, seperti Spanyol, Portugis,
Inggris, Belanda, Perancis, Cina, dan lain-lain. Jejak perjalanan mereka
ditandai dengan bandar-bandar pelabuhan lama yang mencerminkan monumen
sejarah pelayaran mengarungi lautan yang tersebar di seantero dunia.
Berbagai kota-kota pelabuhan lama dunia telah menggali sejarah masa lalu
sebagai inspirasi masa depan pembangunan kota melalui rancangan
masterpiece.
Karya masterpiece itu
dianggap sebagai landmark kebanggaan yang membangkitkan kenangan
kejayaan masa lalu, yang dibutuhkan bagi membangun rasa percaya diri
untuk menatap masa depan kota tersebut. Kota pelabuhan masa lalu menjadi
ikon kota yang mengangkat kembali wibawa, gengsi dan pamor kota, bahkan
mengimbas pada kebangkitan pamor bangsa dan negara dimana kota tersebut
berada. Kawasan inilah awal mula dikenal dalam nama bergengsi, sebagai ’waterfront city’. Pembangunan waterfront city berkembang sebagai trend pembangunan
kawasan perkotaan yang paling bergengsi yang populer. Pendekatan
pembangunan kota pantai memiliki jangkauan yang luas, mulai dari
konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan
laut. Pembangunan kawasan waterfront city pada
awalnya dikenal orang sebagai inovasi Amerika, yang melahirkan suatu
pendekatan pembangunan kota pantai atau Bandar lama sebagai bagian dari
pembangunan kota. Sebagai contoh yang signifikan adalah pembangunan
penataan kota bandar Baltimore bagi mengatasi kebangkrutan yang dialami
kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an.
Pada
masa itu kota-kota bandar di Amerika mengalami proses pengkumuhan yang
mengkhawatirkan. Baltimore tak luput sebagai salah satunya. Dari kota
inilah konsep pembangunan kota pantai dilahirkan, yang diakui sebagai
strategi solusi dari keterpurukan kota-kota besar di Amerika. Pada masa
itu Baltimore menghadapi persoalan yang berat, seperti pertumbuhan
ekonomi negatif, memburuknya infrastruktur kota, terutama kota
tua/bandar lama, tertariknya masyarakat pada promosi kehidupan yang
’lebih baik’ pada kawasan ’new town’ sebagaisuatu pilihan, pindahnya besar-besaran atau eksodus penduduk kota tua/bandar lama ke kota baru/new town,
masuknya ’the blacks’ mengisi kekosongan di sudut-sudut kawasan kota
tua/bandar lama, naiknya tingkat kriminal i tas, penurunan kual i tas
kehidupan dan kondisi kota tua/Bandar lama akibat proses pengkumuhan
yang terus berlanjut. Dipiha klain pemerintah kota menunjuk an
ketidakberdaya an mengatasi situasi yang terus memburuk.
Beruntunglah
kota ini memiliki seorang ’urban visioner’ bernama James Rouse yang
berjiwa nasionalis, yang tak rela melihat keterpurukan bandar lama yang
sarat dengan lapisan sejarah patriotisme perjuangan Amerika mencapai
kemerdekaan. Dia tampil dengan sebuah gagasan pembangunan sebagai
solusi. Penerapan visi Rouse yang didukung pemerintah kota pada akhirnya
berhasil memulihkan situasi, yang dianggap sebagai keajaiban Amerika
dalam memulihkan kota dari belitan resesi ekonomi. Resep James Rouse
selanjutnya banyak mempengaruhi perencanaan kota, dan penerapannya
dianggap sebagai revolusi dalam pembangunan kota. Keberhasilan Baltimore
kemudian diangkat sebagai model untuk diterapkan sebagai strategi
pembangunan kotakota bandar, yang merupakan ’model Amerika’ sebagai “the
great show cases of urban revitalization”. Rouse dianugerah Penghargaan
dari Presiden Clinton sebagai Pahlawan Revitalisasi Amerika yang telah
mengenalkan keajaiban kebangkitan kota dari kebangkrutannya, yang ditiru
berbagai kota pantai di seantero Amerika, bahkan padakota-kota bandar
di dunia. Peristiwa ini merupakan awal mula kelahiran penataan ulang
kawasan bandar lama yang disebar luaskan dalam mass media sebagai
pembangunan waterfront city. Dalam sejarah perkotaan, pembangunan kawasan pantai/waterfront city berkaitan
dengan siklus jatuh bangunnya sebuah kota yang berawal mula dari
pertumbuhannya dari sebuah cikal bakal kota tersebut yang dianggap
sebagai kota induk, yang berkembang menuju posisinya yang sekarang
sebagai kota besar pada masa kini.
Transformasi The Golden Time Menjadi The Hard Time Kota Pantai
Bermula
pada sebuah kota di tepian laut atau sungai, yang dianggap sebagai kota
pantai (baca: kota tepi laut, sungai/ danau), kota pada era ini dikenal
sebagai ’The Golden Time’ kota
pantai. Kota-kota ini tumbuh berkembang, sejalan dengan sejarah
kemajuan peradaban manusia, serta lompatan-lompatan inovasi ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai proses budaya yang menyertainya.
Peradaban manusia era industri telah mempengaruhi struktur kota.
Transformasi struktur kota era pra revolusi industri yang penuh
romantika dengan ciri sebagai waterfront city yang
indah. harus berhadapan dengan kota yang melayani fungsi yang berlainan
akibat revolusi industri. Revolusi industri telah memacu perubahan
karakter kota yang pada mulanya terintegrasi dengan laut/sungai/danau,
berdampingan dengan kota yang berkarakter berbeda. Kota awal sebagaikota induk yang dikenal sebagai waterfront city harus terintegrasi pada fungsi baru sebagai kota industri.
Benturan
kepentingan tak terhindarkan. Dualistik karakter kota pantai, di satu
pihak sebagai kota berbudaya kota pantai harus berhadapan dengan
karakter baru kota industri, yang ditandai dengan pembangunan
kepentingan baru yang membutuhkan efisiensi dalam pemanfaatan lahan bagi
pembangunan industri, bahkan bagi pengembangan pelabuhan, dan
pergudangan dengan pembangunan sarana transportasi yang memilih
sasarannya pada kawasan yang ’rawan’ yaitu kawasan kota pantai. Tak
pelak kawasan pantai menjadi ajang pembangunan industrialisasi, yang
memacu kota pantai sebagai ajang pembangunan industrialisasi. Sarana
penghubung antar kawasan-kawasan pelabuhan, industri, pergudangan
dilayani oleh sebuah infrastruktur jalan raya yang membelah kota-kota
pantai (sebagai kota induk) dengan pertumbuhan kota tersebut kearah
daratan, sebagai konsekuensi terblokirnya pertumbuhan pada kawasan
pantai.
Sebaliknya
kota pantai berkembang sebagai kawasan kumuh akibat kekerasan karakter
yang diciptakan oleh visi kota industri (ingat film ’On the waterfront’
yang dibintangi oleh MarlonBrando). Perusakan Bandar Lama diakibatkan
cara pikir dan sikap hidup manusia pada era revolusi Industri dan
revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dengan mengatas namakan
pembangunan “modernisasi”. Implementasi moderni sasi yaitu melaksanak an
pembangunan “peremajaan kota” dengan sasaran kota masa lalu yang
dianggapnya tidak efisien untuk mengakomodasi tuntutan pertumbuhan
ekonomi sebuah kota (seperti, Sunda Kelapa ). Dipihak lain pengkumuhan
bandar lama era resesi ekonomi dunia tahun 70an telah memojokan
keberadaannya pada posisi sebagai beban kota semata. Hal tersebut
menginspirasi kelahiran gerakan restorasi bandar lama dalam motivasi
penyelamatan sebuah pusat peradaban manusia. Era ini dikenal sebagai
’Hard Time’ kota pantai
Kebangkitan the Golden Time Kota Pantai
Sebuah siklus yang mewarnai pengembangan kota untukkembali
pada era ’Golden Time’ ditandai dengan kebijakan pemindahan sektor
pelabuhan, industri dan pergudangan keluar kawasan kota pantai, akibat
tuntutan efisiensi untuk melayani kemajuan teknologi maritim yang
membutuhkanlahan yang luas bagi pembangunan pelabuhan berskala luas.
Kawasan kota industri menjadi kosong dan ’idle’ atau mubasir yang
membutuhkan suatu visi yang inovatif bagi membangkitkan kembali pada
pamor lama, yaitu sebagai kota pantai. Kebijakan membangkitkan kembali
kawasan ex industri sebagai kota pantai/ waterfront city inilah
yang mengawali visi kembali ke laut dari pembangunan sebuah kota.
Percontohan yang dapat diungkap sebagai kasus disini adalah proyek
’Urban Regeneration’ kota-kota pelabuhan lama di Inggris, seperti London
Dockland (London) , Albert Dock (Liverpool), dan lima proyek urban
regeneration pelabuhan lama lainnya di seantero Inggris. Proyek ini
merupakan gagasan Perdana Menteri Thatcher, yang mencanangkannya sebagai
’the decade of achievement’, sebuah gagasan yang membangkitkan kembali
ingatan ’British rules seven waves’ yang mengangkat wibawa dan gengsi
Inggris sebagai bangsa yang jaya di lautan.
Era
ini dikenal kembali sebagai ’Golden Time’ kebangkitan kota pantai.
Perhatian manusia kini terfokus pada pembangunan kota pantai yang sarat
mewadahi mitos kebesaran masa lalu, yaitu tak lain adalah kawasan bandar
lama yang penuh kenangan akan kejayaan para founding fathers yang
telah meletakkan pondasi bagi pembangunan masa depan, sebagai penggugah
generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan sebagai panggilan
sejarah. Demikianlah awalmula kelahiran fenomena pembangunan kota pantai
didunia.
Pemanfaatan Pengembangan Kota Pantai
Pembangunan
kawasan kota pantai tak terlepas dari pembangunan pencitraan kawasan
ini sebagai kebanggaan sebuah kota, yang merupakan kekuatan daya tarik
kota tersebut sebagai kota dunia yang berkarakter dan berwibawa. Dipihak
lain pembangunan karakter kawasan ini tak terlepas dari tujuan
mengantisipasi persaingan kota bagi tujuan merebut pasar, melalui
pembangunan dengan mengangkat kekuatan keunggulan citra sedemikian rupa
sehingga membangkitkan daya tarik yang kompetitif bagi tujuan
kepariwisataan, bisnis dan investasi. Untuk itu pula kota-kota dunia
berlomba membangun citra yang kompetitif, dengan mengangkat semangat
kota, yang pada umumnya dikaitkan dengan semangat masa lalu kota
tersebut. Bandar lama merupakan elemen kota pantai yang berposisi
sebagai landmark kebanggaan sebuah kota.
Beberapa
contoh bandar lama yang dibangun sebagai kota pantai yang mengangkat
pamor sebuah kota yang terkenal adalah, bandar lama Inner Harbor di
Baltimore, bandar lama Faneuil Hall di Boston, London Dockland di
London, Inggris, Bandar lama Darling Harbour di Sydney Australia, Alloha
Tower di Hawaii USA, Boat & Clarke Quay di Singapore , Port Vell di
Barcelona, Spanyol, Minato Mirai 21, Yokohama, kota pantai Cape Town,
Dubai serta Sunda Kelapa Jakarta dan Kawasan Pantura Jakarta. Semuanya
ditujukan sebagai sarana bagi mengangkat gengsi dan menumbuhkan ekonomi
kota sekaligus devisa negara, disamping mengangkat PAD kota.
Bagaimanakah Dengan Indonesia?
Contoh di atas merujuk pada konsep dua kasus Amerika dan kasus Inggris dalam pembangunan waterfront city, keduanya
berlandaskan suatu motivasi yang kuat untuk kebangkitan’national pride’
yang pada gilirannya mengimbas pada kebangkitan ekonomi. Berbicara
tentang pembangunankota pantai atau bandar lama di wilayah Nusantara,
maka kita berbicara tentang sejarah kebesaran kejayaan Nusantara yang
melatarbelakangi karakter kota bandar tersebut. Adalah merupakan suatu
kenyataan sejarah bahwa tiga setengah abad kolonialisme telah
meninggalkan sebuah misteri tentang pemudaran semangat bahari, hal mana
mempengaruhi kekuatan citra dan karakter bandar lama di Indonesia.
Kita
menyadari bahwa Indonesia sebagaimana Inggris adalah merupakan sebuah
bangsa bahari besar dari sebuah Negara kepulauan terbesar didunia.
Merupakan suatu kenyataan bahwa perjalanan sejarah bahari Nusantara
terpenggal tiga setengah abad pada era kolonialisme, merupakan proses
penyusutan budaya bahari yang mengikutinya. Fenomena ini mempengaruhi
pembentukan karakter kota-kota Bandar di Indonesia yang berlangsung
selama berabad-abad sepanjang era kolonialisme. Transformasi budaya
bahari yang berkesinambungan merupakan fenomena (meminjam istilah Alvin
Toffler) ’gegar budaya’ yang dapat kita lihat dengan kasat mata
sekalipun pada karakter kota Bandar Nusantara yang seolah kehilangan roh
kejayaan masa lalu. Citra bandar lama warisan era kolonial terasa
sebagai cerminan grand scenario semangat
kolonialisme. Pembangunan kawasan kota pantai dalam konteks
revitalisasi bandar lama warisan kebesaran kejayaan sejarah Nusantara,
menggugah kita untuk membangkitkan kembali karakter kejayaan bandar lama
tersebut, yang membutuhkan sentuhan kesejarahan bagi merumuskan
strategi masa depan kota bandar tersebut.
Karena
itu pengenalan kesejarahan amat dibutuhkan, tanpa pengenalan akan jejak
sejarah, sulit kita merumuskan konsep pembangunan kota pantai untuk
disandingkan sejajar dengan konsep pembangunan kota-kota pantai dunia
sebagaimana di atas. Kita tidak ingin membangun kota pantai sekedar
melanjutkan konsep ’budaya kolonial’ yang mendominasi cara pandang dan
cara pikir kita dalam merumuskan pembangunan masa depan. Kita tidak
ingin terjebak pada semangat inferioritas yang masih mendominasi mind
set kita (baca: mind set ’inferioritas’). Hal ini hanya akan
melanggengkan dominasi pembangunan karakter ’a-historis’ kota bandar
yang diwariskan pada era colonial kepada kita.
Benchmarking pada
contoh kasus Amerika dan Inggris yang menginspirasi gerakan pembangunan
kota-kota pantai di dunia, mengirim pesan sinyal kepada kita pada
pilihan-pilihan sebagai berikut: pertama, belajar dari para pionir
pendahulu pembangunan kota pantai/ bandar lama sebagai bagian dari
kebangkitan ‘national pride’ dan kebangkitan ekonomi kota sebagaimana
contoh diatas; kedua, membangun kawasan kota pantai secara praktis,
berdasar warisan masa lalu sebagai suatu kenyataan yang ’given’ untuk
diolah dan dikembangkan sebagai daya tarik wisata kota semata; ketiga,
membangun kota pantai sebagai konsep bebas tergantung kekuatan ekonomi
serta imajinasi investor developer semata.
Penutup
Pembangunan
kawasan kota pantai dalam konteks pembangunan revitalisasi bandar lama
merupakan fenomena yang universal bagi membangkitkan kembali jiwa dan
roh kejayaan masa lalu, yang berguna sebagai sumber inspirasi bagi
pembangunan masa depan sebuah kota. Posisi strategis yang dimiliki
sebuah bandar lama sebagai landmark nasional,
merupakan peluang bagi membangkitkan jatidiri dan karakter kota, bahkan
sebuah bangsa dan negara, yang memberi arti dan makna serta rasa
percaya diri untuk diwariskan pada anak cucu sebagai generasi penerus.
Jakarta sebagai ibukota negara bahari terbesar di dunia, potensial
merupakan ikon yang menginspirasi gagasan kebangkitan semangat bahari
pada kawasan kota Bandar yang tersebardiseantero Nusantara. Pembangunan
kota pantai dalam konteks revitalisasi bandar lama yang merefleksi
kebangkitan citra terpendam kebesaran kejayaan masa lalu Nusantara
merupakan keunggulan kompetitif untuk diangkat bagi pembangunan
’national pride’ dan kebangkitan ekonomi nasional. Pembangunan kota
pantai di Indonesia merupakan peluang bagi kebangkitan kekuatan citra
sebuah bangsa bahari menghadapi kompetisi meraih world status bergengsi
sebagaimana tuntutan persaingan kota-kota dunia pada era global. Visi
pembangunan kota pantai diharapkan merupakan bagian dari strategi budaya
bangsa dalam menyongsong era global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar