Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang
Pengelolaan
berbasis masyarakat (PBM) telah menjadi arus utama (mainstreaming)
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Kegagalan kebijakan pengelolaan
yang sentralistik dalam menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
pesisir berikut aksesibilitas masyarakat di sekitar sumberdaya tersebut,
telah memicu dan memacu pentingnya untuk memposisikan masyarakat
sebagai entitas utama dan penentu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Desakan untuk lebih memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan
pola pengelolaan sumberdaya pesisir yang berada dalam lingkup kawasannya
serta beragamnya adat serta budaya di kawasan pesisir Indonesia,
menjadikan PBM sebagai keharusan dalam penerapan pengelolaan sumberdaya
pesisir. Desakan ini semakin kuat gaungnya seiring dengan momentum
reformasi yang membawa perubahan mendasar dalam tata hubungan
pemerintahan dan tata kelola wilayah pesisir.
Tata
kelola wilayah pesisir sebagaimana diamanatkan UU 32/2004 tentang
Pemerintah Daerah memberikan kewenangan bagi Pemda serta masyarakat
untuk mengelola wilayah pesisir
dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya sesuai dengan karakteristik
setempat. Lebih lanjut dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menempatkan masyarakat berikut peran
sertanya sebagai asas pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil . Bahkan asas kemitraan, desentralisasi dan keadilan
dalam implementasinya juga mengisyaratkan pentingnya masyarakat sebagai
entitas utama pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Amanat
dari dua dasar hukum utama pengelolaan wilayah pesisir tersebut di atas
menuntut kesiapan masyarakat dalam menjalankan mandat serta kejelian
untuk mengelola wilayah pesisir yang merangkum ruang dan penataan ruang
terutama pada skala lokal. Tulisan ini menelaah pengelolaan berbasis
masyarakat dalam kerangka penataan ruang di wilayah pesisir.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat Dan Perkembangannya
Pengelolaan
berbasis masyarakat (PBM) merupakan suatu pendekatan pembangunan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berfokus dan merujuk pada konsep
pendekatan berorientasi masyarakat serta terpadu dalam upaya mendapatkan
hasil dan manfaat yang lebih baik disbanding pendekatan yang bersifat
sentralistik (Israel, 2001). PBM telah menjadi bagian utama dalam
strategi konservasi dan solusi alternatif untuk pengelolaan sumberdaya
pesisir (Berkes, 1989, 1994, 2003; Kuperan et.al, 1998, Nielsen et.al,
2004; dan Pomeroy, 1994, 1998). PBM menekankan pentingnya proses
pengelolaan yang berbasis kekhasan lokal, berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan serta diterapkan secara holistik dan berkelanjutan
(Israel, 2001). Asumsi yang mendasari hal ini adalah pengelolaan wilayah
pesisir akan lebih efektif dilakukan dan dirasakan manfaatnya jika
dilakukan oleh komunitas atau entitas yang sehari-hari dekat dengan
sumberdaya serta menjadikan sumberdaya tersebut sebagai bagian hidupnya.
Untuk
menjadikan asumsi tersebut efektif dalam pelaksanaannya, terdapat
beberapa faktor penentu keberhasilan PBM. Berkes et.al (2004)
mengidentifikasi faktor-faktor tersebut yang meliputi pra kondisi
(pre-existing condition) seperti adanya organisasi lokal dan kemampuan
organisasi tersebut untuk menggerakan dan dipercaya oleh masyarakat
serta pengaturan kelembagaan. Kepemimpinan dalam organisasi lokal
tersebut juga merupakan factor yang penting dalam PBM dan revitalisasi
pola PBM yang telah ada di masyarakat jika diperlukan. Mekanisme
pendelegasian hak, otoritas serta kewenangan pengelolaan sumberdaya
merupakan faktor penentu selanjutnya. Dalam skala nasional, mekanisme
ini merujuk pada sistem dan prosedur
hukum, kebijakan serta adminsitrasi yang memilikikompleksitas tinggi
yang sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih atau tarik ulur
kepentingan (Butarbutar et.al, 1997; Siry, 2006). Untuk melakukan
perubahan atau penyesuaian sistem dan prosedur ini dengan PBM tidak
dapat dilakukan secara langsung. Dalam banyak hal, perubahan atau
penyesuaian tersebut membutuhkan restrukturisasi yang signifikan bahkan
besar-besaran agar bisa mengakomodir PBM (Berkes et.al 2004).
PBM
memerlukan landasan hukum dan dukungan peraturan perundangan yang dalam
banyak hal sering terabaikan. Kurang atau tidak adanya insentif bagi
masyarakat dalam mengelola wilayah pesisir dan bersinergi dengan konsep
keberlanjutan, merupakan hal utama yang sering di ketengahkan dalam
pembuatan dukungan kerangka hukum serta menjadi hal yang pelik dalam
pelaksanaan PBM. Hal inilah yang membuat PBM kurang efektif di berbagai
tempat (Kuperan et.al, 1998) dan perlunya memadukan PBM dengan konsep
kemitraan yang lebih berorientasi pada sinergi positif antar pemangku
kepentingan. Kemitraan sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah
pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi terkait dimensi ruang,
pengaturan serta hubungan antar pemangku kepentingan. Konsep
ko-manajemen (pengelolaan bersama) yang mengedepankan azas kemitraan
menjadi alternatif terobosan pengarustamaan masyarakat dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Ko-manajemen diharapkan mampu menjawab kekosongan atau
tidak penuhnya dukungan peraturan perundangan dan kelembagaan yang
memerlukan peran pemerintah. Ko-manajamen merupakan proses pengelolaan
yang membuka ruang untuk berbagai tingkatan peran pemerintah, masyarakat
serta pemangku kepentingan lainnya untuk ikut menjadi bagian penentu
dalam pengelolaan wilayah pesisir. Peran dan partisipasi yang
dimungkinkan mulai dari proses informasi, konsultasi, kerjasama,
komunikasi, pertukaran informasi, aksi bersama, kemitraan, kontrol
masyarakat dan koordinasi inter daerah. Spektrum peran dan partisipasi
tersebut diilustrasikan oleh Berkes et.al (2004) dengan mendapatkan
posisi komanajemen pada pola PBM dan pengelolaan sentralistik yang
dikontrol oleh pemerintah seperti pada Gambar 1.
Dalam
konteks kekinian Indonesia, penerapan PBM akan banyak memerlukan langkah
terobosan yang lebih besar. Tiga dasawarsa dalam pola pengelolaan yang
bersifat sentralistik tidak serta merta bisa dirubah atau digantikan
secara radikal, seperti langsung meletakkan hak dan tanggung jawab
pengelolaan wilayah pesisir pada masyarakat tanpa pendampingan dari
pemerintah (pusat ataupun daerah). Inisiasi lokal bisa saja dimunculkan,
namun untuk tetap tumbuh kembang perlu disemai dengan pola kemitraan
pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Saat ini, tata
kelola pemerintah telah mengalami perubahan atau setidaknya mengarah
pada perubahan yang berorientasi pelayanan. Perubahan ini perlu
ditangkap dan dipadukan dalam upaya prakasa masyarakat dalam berinisiasi
mengelola wilayah pesisir. Proses yang bertahap dan butuh waktu serta
pembelajaran dari tahap pelaksanaan merupakan kata kunci dari upaya
penerapan pola pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Ko-manajemen
memungkinkan hal tersebut dalam pelaksanaannya. Abdullah, Visvanathan
and Pomeroy (1998) menjelaskan PBM akan mengalami kesulitan dalam
implementasinya serta melembagakannya jika (i) unsur birokrasi baik di
tingkat pusat atau lokal masih belajar untuk mengadaptasi strategi
desentralisasi, (ii) kapasitas kelembagaan pemerintah di daerah masih
diragukan atau (iii) masyarakat belum terbiasa dalam merefleksikan dan
menerapkan kewenangan dan kekuatan politis yang dimiliki. Koordinasi,
saling menghargai dan mempercayai sangat diperlukan dalam penerapan
pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Komanajemen yang
memungkinkan ruang pembelajaran hal tersebut dicapai secara bertahap
merupakan pola pengelolaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat
ini.
Kebijakan Penataan Ruang Di Wilayah Pesisir
UU
26/2007 tentang Penataan Ruang menggarisbawahiv bahwa wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. UU
26/2007 juga mengamanatkan pentingnya upaya pengelolaannya secara
bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna yang berpedoman pada kaidah
penataan ruang sehingga kualitas ruang dapat meningkatkan kesejahteraan
umumdan keadilan sosial. Dalam konteks ini,
penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah
yang bertujuan untuk meningkatkanklitas kesejahteraan masyarakat dan
lingkungan hidup melalui upaya pengelolaan kawasan. Menkimpraswil (2003)
menjelaskan pendekatan penataan ruang dalam kaitannya dengan
pengembangan wilayah terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan,
yakni: Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana
tata ruang wilayah yang merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/ makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability); Proses pemanfaatan ruang, yang
merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan
pembangunan itu sendiri; dan Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang
terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan
pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Sebagai daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki
potensi ekonomi yang sangat besar serta menyediakan berbagai jasa
lingkungan. Penataan ruang di wilayah pesisir menjadi faktor penting
dalam pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Kebijakan
penataan ruang di wilayah pesisir di samping merujuk UU 26/2007, juga
diatur dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil melalui empat tahapan proses perencanaan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri atas:
- Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);
- Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K);
- Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan
- Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (RAPWP-3-K).
Norma,
standar, dan pedoman penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RSWP-3-K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana
pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah dengan jangka waktu
selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RSWP-3-K berisikan arahan
strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kedil yang
mempertimbangkan kepentingan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat
serta pemangku kepentingan lainnya. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang merupakan dokumen perencanaan yang
wajid disusun oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan berjangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Proses penyusunannya melibatkan
masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman yang ditetapkan.
RZWP-3-K merupakan
arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Penyusunan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan: Keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi
pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi
teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
Keterpaduan pemanfaatan berbagai
jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan
pesisir; dan Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat
(masyarakat adat dan masyarakat Lokal yang bermukim di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil) dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. UU 27/2007 membedakan
RZWP-3-K provinsi dan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Untuk provinsi, RZWP-3-K mengatur
- pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
- keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion;
- penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
- penetapan prioritas
kawasan
laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi
laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. RZWP - 3
- kabupaten / kota berisi arahan tentang (i) alokasi ruang dalam
Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana
Kawasan St rategi s Nas ional Tertentu, dan rencana alur; serta (ii)
keterkaitan antarekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam suatu
bioekoregion. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RPWP-3-K) merupakan dokumen pengelolaan
yang yang berlaku selama 5 (lima) tahun dandapat ditinjau kembali
sekurang- kurangnya 1 (satu) kali. RPWP-3-K berisikan : Kebijakan
tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya
yang diizinkan dan yang dilarang; Skala prioritas pemanfaatan sumber
daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Jaminan terakomodasikannya pertimbangan pertimbangan hasil konsultasi
publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap
penetapan tujuan dan perizinan; Mekanisme pelaporan yang teratur dan
sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan
dapat diakses; serta Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih
untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya. Rencana Aksi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K) adalah
dokumen perencanaan yang lebih bersifat teknis detail yang berisikan
daftar kegiatan yang akan dilakukan dengan merujuk kepada Rencana
Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana
strategis. Dokumen perencanan ini berlaku 1 (satu) sampai dengan 3
(tiga) tahun.
PBM Dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir
Masyarakat
memiliki peran penting dalam mekanisme penyusunan empat dokumen
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP-3-K,
RZWP- 3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K). Keterlibatan masyarakat
diamanatkan UU 27/2007 dalam proses penyusunan keempat dokumen
perencanaan serta penyebarluasan konsep untuk masukan, tanggapan, dan
saran perbaikan. Hal ini juga sejalan dengan tujuan dari pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk memperkuat peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai
keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan (Pasal 4 huruf c UU
27/2007). Peran masyarakat dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil terus didorong oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) sebagai amanat pelaksanaan UU 27/2007. Prakarsa
pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) di berbagai kawasan ekosistem
pesisir penting misalnya ,
merupakan
cerminan peran pent ing masyarakat dalam melakukanpenetapan peruntukan
ruang pesisir serta alokasi kegiatan pemanfaatannya. Hal ini disadari
dan didasari karena masyarakat setempat lebih mengetahui karakteristik
dan keunikan ekosistem pesisir di lingkup mereka, serta mereka yang akan
menerima dampak langsung berbagai kegiatan pengelolaan wilayah pesisir
baik positif maupun negatif. Pola sinergi positif yang digulirkan
melalui penguatan aspek legalitas DPL oleh pemerintah juga berdampak
positif pada keberlanjutan pengelolaan. Proses pembentukan DPL juga
telah menjadi media pembelajaran bagi pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengelola
sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan berbasis pada kondisi
setempat. Melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang
(Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP) fase II,
keterlibatan masyarakat adapt dalam penataan ruang wilayah pesisir telah
dirangkul.
Untuk
Kabupaten Raja Ampat misalnya telah ada 23 DPL yang tersebar di 21
kampung hasil pelaksanaan program COREMAP II (Buletin COREMAP II, 2009).
Masing-masing DPL memiliki luasan yang bervariasi dan proses
penetapannya juga melibatkan kompromi dan sinergi positif antar marga
yang mengelola kawasan tersebut. Proses penetapan DPL di Kabupaten Raja
Ampat yang memiliki faktor adat dan kepemilikan marga yang kuat
memerlukan dukungan dan kemitraan dengan pemerintah serta pemangku
kepentingan lainnya. Setiap lokasi DPL yang sudah ditetapkan diresmikan
secara adat dan keagamaan. Pola sasi (buka tutup sumberdaya) dan
penerapan sanksi sosial berupa hukuman adat menjadi pilihan penerapan
pengelolaan DPL. Hasil pembelajaran dari pembentukan DPL di Kabupaten
Raja Ampat mengindikasikan pentingnya peranan dan keberadaan fasilitator
masyarakat danmotivator desa yang dalam program COREMAP fase II menjadi
tanggung jawab pemerintah. Hasil pembelajaran ini menunjukkan bahwa
pola ko-manajemen melalui sinergi positif masyarakat, pemerintah dan
pemangku kepentingan cocok diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Peran masyarakat pesisir juga penting dalam perencanaan penataan ruang
pesisir yang memiliki potensi bencana, baik bencana yang diakibatkan
oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Konsep zonasi (tata
ruang) yang memperhatikan aspek kebencanaan, diharapkan dapat
meminimalkan segala kerugian yang dapat ditimbulkan oleh bencana
tersebut.
Informasi
rinci tentang kondisi wilayah pesisir setempat, serta proses adaptasi
masyarakat pesisir terhadap lingkungannya merupakan sumbangan besar
dalam penyusunan konsep dasar tata ruang kawasanpesisir rawan bencana
yang sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal. Tanpa adanya
informasi tersebut, tidak dapat diprediksi besarnya potensi bencana dan
tingkat kesiap-siagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi
bencana tersebut. Hal ini akan bermuara pada besarnya jumlah korban jiwa
dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir jika terjadi
bencana. Pasal 27 UU 27/2007 juga mengamanatkan peran penting masyarakat
dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah serta
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam mekanisme pengawasan
juga diperkenalkan proses akreditasi yaitu prosedur pengakuan suatu
kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi
penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PBM
Masih
belum terbiasanya masyarakat pesisir dan pulaupulau dalam
mengekspresikan keinginan dan rencana yang mereka miliki ke pemerintah
serta pemangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, keinginan dan rencana
mereka tersebut sering terabaikan atau tidak ditanggapi, dan dalam
beberapa kasus sering dikorbankan atas nama pembangunan. Hal ini
menyebabkan tidak optimalnya penyampaian prakarsa dan inovasi dari
masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan alokasi pemanfaatan
ruang pesisir. Mengentaskan kekurangan tersebut memerlukan berbagai I
ntervensi seperti sosialisasi, peningkatan kepedulian, dan penguatan
kelembagaan masyarakat oleh lembaga di luar masyarakat seperti dari LSM,
pemerintah atau donor; Adanya kelompok mayoritas yang lebih banyak diam
(silent majority) dalam penerapan PBM dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Gejala ini berpotensi menyebabkan keterwakilan
keinginan dari masyarakat pesisir tidak optimal dan cenderung bisa
didominasi oleh satu pihak saja dalam masyarakat.
Sehingga
alokasi peruntukan ruang pesisir tidak mencerminkan rasa keadilan bagi
masyarakat setempat dan hal ini bisa menjadi potensi konflik; dan Kultur
birokrasi baik pada tataran nasional maupun lokal yang belum
memposisikan birokrasi sebagai mitra dan pelayan dalam pelaksanaan
program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk
mensejahterakan masyarakat pesisir. Pola sentralistik yang masih tetap
membekas dalam birokrasi masih memerlukan upaya terus menerus dan
terencana untuk menciptakan birokrasi yang cepat tanggap dan peduli pada
prakarsa dan inovasi dari masyarakat sebagai bagian penting dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas,
pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama dalam peningkatan
kapabilitas dan kapasitas masyarakat pesisir dalam menentukan arah
pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Pemberdayaan
masyarakat ini meliputi upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan
kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar mampu menentukan
pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil secara lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar