Rabu, 22 Februari 2012

Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Dalam Kerangka Penataan Ruang


 
Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) telah menjadi arus utama (mainstreaming) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Kegagalan kebijakan pengelolaan yang sentralistik dalam menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berikut aksesibilitas masyarakat di sekitar sumberdaya tersebut, telah memicu dan memacu pentingnya untuk memposisikan masyarakat sebagai entitas utama dan penentu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan untuk lebih memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pola pengelolaan sumberdaya pesisir yang berada dalam lingkup kawasannya serta beragamnya adat serta budaya di kawasan pesisir Indonesia, menjadikan PBM sebagai keharusan dalam penerapan pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan ini semakin kuat gaungnya seiring dengan momentum reformasi yang membawa perubahan mendasar dalam tata hubungan pemerintahan dan tata kelola wilayah pesisir.
 
 
 
Tata kelola wilayah pesisir sebagaimana diamanatkan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan bagi Pemda serta masyarakat untuk mengelola wilayah pesisir dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya sesuai dengan karakteristik setempat. Lebih lanjut dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menempatkan masyarakat berikut peran sertanya sebagai asas pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil . Bahkan asas kemitraan, desentralisasi dan keadilan dalam implementasinya juga mengisyaratkan pentingnya masyarakat sebagai entitas utama pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Amanat dari dua dasar hukum utama pengelolaan wilayah pesisir tersebut di atas menuntut kesiapan masyarakat dalam menjalankan mandat serta kejelian untuk mengelola wilayah pesisir yang merangkum ruang dan penataan ruang terutama pada skala lokal. Tulisan ini menelaah pengelolaan berbasis masyarakat dalam kerangka penataan ruang di wilayah pesisir.
 
Pengelolaan Berbasis Masyarakat Dan Perkembangannya
 
Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) merupakan suatu pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang berfokus dan merujuk pada konsep pendekatan berorientasi masyarakat serta terpadu dalam upaya mendapatkan hasil dan manfaat yang lebih baik disbanding pendekatan yang bersifat sentralistik (Israel, 2001). PBM telah menjadi bagian utama dalam strategi konservasi dan solusi alternatif untuk pengelolaan sumberdaya pesisir (Berkes, 1989, 1994, 2003; Kuperan et.al, 1998, Nielsen et.al, 2004; dan Pomeroy, 1994, 1998). PBM menekankan pentingnya proses pengelolaan yang berbasis kekhasan lokal, berorientasi pada peningkatan kesejahteraan serta diterapkan secara holistik dan berkelanjutan (Israel, 2001). Asumsi yang mendasari hal ini adalah pengelolaan wilayah pesisir akan lebih efektif dilakukan dan dirasakan manfaatnya jika dilakukan oleh komunitas atau entitas yang sehari-hari dekat dengan sumberdaya serta menjadikan sumberdaya tersebut sebagai bagian hidupnya.
 
 
Untuk menjadikan asumsi tersebut efektif dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa faktor penentu keberhasilan PBM. Berkes et.al (2004) mengidentifikasi faktor-faktor tersebut yang meliputi pra kondisi (pre-existing condition) seperti adanya organisasi lokal dan kemampuan organisasi tersebut untuk menggerakan dan dipercaya oleh masyarakat serta pengaturan kelembagaan. Kepemimpinan dalam organisasi lokal tersebut juga merupakan factor yang penting dalam PBM dan revitalisasi pola PBM yang telah ada di masyarakat jika diperlukan. Mekanisme pendelegasian hak, otoritas serta kewenangan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor penentu selanjutnya. Dalam skala nasional, mekanisme ini merujuk pada sistem dan prosedur hukum, kebijakan serta adminsitrasi yang memilikikompleksitas tinggi yang sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih atau tarik ulur kepentingan (Butarbutar et.al, 1997; Siry, 2006). Untuk melakukan perubahan atau penyesuaian sistem dan prosedur ini dengan PBM tidak dapat dilakukan secara langsung. Dalam banyak hal, perubahan atau penyesuaian tersebut membutuhkan restrukturisasi yang signifikan bahkan besar-besaran agar bisa mengakomodir PBM (Berkes et.al 2004).
 
 
PBM memerlukan landasan hukum dan dukungan peraturan perundangan yang dalam banyak hal sering terabaikan. Kurang atau tidak adanya insentif bagi masyarakat dalam mengelola wilayah pesisir dan bersinergi dengan konsep keberlanjutan, merupakan hal utama yang sering di ketengahkan dalam pembuatan dukungan kerangka hukum serta menjadi hal yang pelik dalam pelaksanaan PBM. Hal inilah yang membuat PBM kurang efektif di berbagai tempat (Kuperan et.al, 1998) dan perlunya memadukan PBM dengan konsep kemitraan yang lebih berorientasi pada sinergi positif antar pemangku kepentingan. Kemitraan sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi terkait dimensi ruang, pengaturan serta hubungan antar pemangku kepentingan. Konsep ko-manajemen (pengelolaan bersama) yang mengedepankan azas kemitraan menjadi alternatif terobosan pengarustamaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Ko-manajemen diharapkan mampu menjawab kekosongan atau tidak penuhnya dukungan peraturan perundangan dan kelembagaan yang memerlukan peran pemerintah. Ko-manajamen merupakan proses pengelolaan yang membuka ruang untuk berbagai tingkatan peran pemerintah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya untuk ikut menjadi bagian penentu dalam pengelolaan wilayah pesisir. Peran dan partisipasi yang dimungkinkan mulai dari proses informasi, konsultasi, kerjasama, komunikasi, pertukaran informasi, aksi bersama, kemitraan, kontrol masyarakat dan koordinasi inter daerah. Spektrum peran dan partisipasi tersebut diilustrasikan oleh Berkes et.al (2004) dengan mendapatkan posisi komanajemen pada pola PBM dan pengelolaan sentralistik yang dikontrol oleh pemerintah seperti pada Gambar 1.
 
Dalam konteks kekinian Indonesia, penerapan PBM akan banyak memerlukan langkah terobosan yang lebih besar. Tiga dasawarsa dalam pola pengelolaan yang bersifat sentralistik tidak serta merta bisa dirubah atau digantikan secara radikal, seperti langsung meletakkan hak dan tanggung jawab pengelolaan wilayah pesisir pada masyarakat tanpa pendampingan dari pemerintah (pusat ataupun daerah). Inisiasi lokal bisa saja dimunculkan, namun untuk tetap tumbuh kembang perlu disemai dengan pola kemitraan pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Saat ini, tata kelola pemerintah telah mengalami perubahan atau setidaknya mengarah pada perubahan yang berorientasi pelayanan. Perubahan ini perlu ditangkap dan dipadukan dalam upaya prakasa masyarakat dalam berinisiasi mengelola wilayah pesisir. Proses yang bertahap dan butuh waktu serta pembelajaran dari tahap pelaksanaan merupakan kata kunci dari upaya penerapan pola pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Ko-manajemen memungkinkan hal tersebut dalam pelaksanaannya. Abdullah, Visvanathan and Pomeroy (1998) menjelaskan PBM akan mengalami kesulitan dalam implementasinya serta melembagakannya jika (i) unsur birokrasi baik di tingkat pusat atau lokal masih belajar untuk mengadaptasi strategi desentralisasi, (ii) kapasitas kelembagaan pemerintah di daerah masih diragukan atau (iii) masyarakat belum terbiasa dalam merefleksikan dan menerapkan kewenangan dan kekuatan politis yang dimiliki. Koordinasi, saling menghargai dan mempercayai sangat diperlukan dalam penerapan pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Komanajemen yang memungkinkan ruang pembelajaran hal tersebut dicapai secara bertahap merupakan pola pengelolaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
 
Kebijakan Penataan Ruang Di Wilayah Pesisir
 
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggarisbawahiv bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. UU 26/2007 juga mengamanatkan pentingnya upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna yang berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang dapat meningkatkan kesejahteraan umumdan keadilan sosial. Dalam konteks ini, penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk meningkatkanklitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup melalui upaya pengelolaan kawasan. Menkimpraswil (2003) menjelaskan pendekatan penataan ruang dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni: Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah yang merupakan bentuk intervensi yang  dilakukan agar interaksi manusia/ makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability); Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; dan Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar serta menyediakan berbagai jasa lingkungan. Penataan ruang di wilayah pesisir menjadi faktor penting dalam pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Kebijakan penataan ruang di wilayah pesisir di samping merujuk UU 26/2007, juga diatur dalam UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui empat tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri atas:
 
  • Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);
  • Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K);
  • Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan
  • Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (RAPWP-3-K).
 
 
 Norma, standar, dan pedoman penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah dengan jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RSWP-3-K berisikan arahan strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kedil yang mempertimbangkan kepentingan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang merupakan dokumen perencanaan yang wajid disusun oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing dan berjangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Proses penyusunannya melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman yang ditetapkan.
 
RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Penyusunan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan: Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat (masyarakat adat dan masyarakat Lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. UU 27/2007 membedakan RZWP-3-K provinsi dan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk provinsi, RZWP-3-K mengatur
 
  • pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
  • keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion;
  • penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
  • penetapan prioritas
kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. RZWP - 3 - kabupaten / kota berisi arahan tentang  (i) alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan St rategi s Nas ional Tertentu, dan rencana alur; serta  (ii) keterkaitan antarekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam suatu bioekoregion. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) merupakan dokumen pengelolaan yang yang berlaku selama 5 (lima) tahun dandapat ditinjau kembali sekurang- kurangnya 1 (satu) kali. RPWP-3-K berisikan : Kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang; Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Jaminan terakomodasikannya pertimbangan pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan; Mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K) adalah dokumen perencanaan yang lebih bersifat teknis detail yang berisikan daftar kegiatan yang akan dilakukan dengan merujuk kepada Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Dokumen perencanan ini berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.
 
PBM Dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir
 
Masyarakat memiliki peran penting dalam mekanisme penyusunan empat dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP-3-K, RZWP- 3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K). Keterlibatan masyarakat diamanatkan UU 27/2007 dalam proses penyusunan keempat dokumen perencanaan serta penyebarluasan konsep untuk masukan, tanggapan, dan saran perbaikan. Hal ini juga sejalan dengan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan (Pasal 4 huruf c UU 27/2007). Peran masyarakat dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terus didorong oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai amanat pelaksanaan UU 27/2007. Prakarsa pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) di berbagai kawasan ekosistem pesisir penting misalnya ,
 
merupakan cerminan peran pent ing masyarakat dalam melakukanpenetapan peruntukan ruang pesisir serta alokasi kegiatan pemanfaatannya. Hal ini disadari dan didasari karena masyarakat setempat lebih mengetahui karakteristik dan keunikan ekosistem pesisir di lingkup mereka, serta mereka yang akan menerima dampak langsung berbagai kegiatan pengelolaan wilayah pesisir baik positif maupun negatif. Pola sinergi positif yang digulirkan melalui penguatan aspek legalitas DPL oleh pemerintah juga berdampak positif pada keberlanjutan pengelolaan. Proses pembentukan DPL juga telah menjadi media pembelajaran bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan berbasis pada kondisi setempat. Melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP) fase II, keterlibatan masyarakat adapt dalam penataan ruang wilayah pesisir telah dirangkul.
 
Untuk Kabupaten Raja Ampat misalnya telah ada 23 DPL yang tersebar di 21 kampung hasil pelaksanaan program COREMAP II (Buletin COREMAP II, 2009). Masing-masing DPL memiliki luasan yang bervariasi dan proses penetapannya juga melibatkan kompromi dan sinergi positif antar marga yang mengelola kawasan tersebut. Proses penetapan DPL di Kabupaten Raja Ampat yang memiliki faktor adat dan kepemilikan marga yang kuat memerlukan dukungan dan kemitraan dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Setiap lokasi DPL yang sudah ditetapkan diresmikan secara adat dan keagamaan. Pola sasi (buka tutup sumberdaya) dan penerapan sanksi sosial berupa hukuman adat menjadi pilihan penerapan pengelolaan DPL. Hasil pembelajaran dari pembentukan DPL di Kabupaten Raja Ampat mengindikasikan pentingnya peranan dan keberadaan fasilitator masyarakat danmotivator desa yang dalam program COREMAP fase II menjadi tanggung jawab pemerintah. Hasil pembelajaran ini menunjukkan bahwa pola ko-manajemen melalui sinergi positif masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan cocok diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Peran masyarakat pesisir juga penting dalam perencanaan penataan ruang pesisir yang memiliki potensi bencana, baik bencana yang diakibatkan oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Konsep zonasi (tata ruang) yang memperhatikan aspek kebencanaan, diharapkan dapat meminimalkan segala kerugian yang dapat ditimbulkan oleh bencana tersebut.
 
 Informasi rinci tentang kondisi wilayah pesisir setempat, serta proses adaptasi masyarakat pesisir terhadap lingkungannya merupakan sumbangan besar dalam penyusunan konsep dasar tata ruang kawasanpesisir rawan bencana yang sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal. Tanpa adanya informasi tersebut, tidak dapat diprediksi besarnya potensi bencana dan tingkat kesiap-siagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana tersebut. Hal ini akan bermuara pada besarnya jumlah korban jiwa dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir jika terjadi bencana. Pasal 27 UU 27/2007 juga mengamanatkan peran penting masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah serta sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam mekanisme pengawasan juga diperkenalkan proses akreditasi yaitu prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
 
Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PBM
 
Masih belum terbiasanya masyarakat pesisir dan pulaupulau dalam mengekspresikan keinginan dan rencana yang mereka miliki ke pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, keinginan dan rencana mereka tersebut sering terabaikan atau tidak ditanggapi, dan dalam beberapa kasus sering dikorbankan atas nama pembangunan. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya penyampaian prakarsa dan inovasi dari masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan alokasi pemanfaatan ruang pesisir. Mengentaskan kekurangan tersebut memerlukan berbagai I ntervensi seperti sosialisasi, peningkatan kepedulian, dan penguatan kelembagaan masyarakat oleh lembaga di luar masyarakat seperti dari LSM, pemerintah atau donor; Adanya kelompok mayoritas yang lebih banyak diam (silent majority) dalam penerapan PBM dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Gejala ini berpotensi menyebabkan keterwakilan keinginan dari masyarakat pesisir tidak optimal dan cenderung bisa didominasi oleh satu pihak saja dalam masyarakat.
 
Sehingga alokasi peruntukan ruang pesisir tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat setempat dan hal ini bisa menjadi potensi konflik; dan Kultur birokrasi baik pada tataran nasional maupun lokal yang belum memposisikan birokrasi sebagai mitra dan pelayan dalam pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mensejahterakan masyarakat pesisir. Pola sentralistik yang masih tetap membekas dalam birokrasi masih memerlukan upaya terus menerus dan terencana untuk menciptakan birokrasi yang cepat tanggap dan peduli pada prakarsa dan inovasi dari masyarakat sebagai bagian penting dalam pengelolaan wilayah pesisir. Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas, pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama dalam peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat pesisir dalam menentukan arah pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Pemberdayaan masyarakat ini meliputi upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar