Sekalipun
kata ‘kontemporer’ kerap disejajarkan dengan modern, kontemporer
diartikan sebagai suatu karya arsitektur yang inovatif, baru, khas, dan
berbeda. Baik dari segi visualisasi design, keberlanjutan, corak atau
motif yang dimiliki, maupun ke-high techno-an suatu karya arsitektur.
Pada
masa colonial Belanda style arsitektur Indonesia seringkali dipengaruhi
oleh penjajah colonial sesuai dengan kepentingan mereka menggerogoti
kekhasan ragam budaya Indonesia. Sekolah arsitektur pertama Indonesia
yakninya ITB ( Bandoeng Technische Hoogeschool )
pada Oktober 1950. Awalnya dimulai dengan 30 siswa dan tiga staff
pengajar yang ketiganya berkebangsaan Belanda. Dalam hal ini corak
arsitektur yang diajarkan sangat dekat dengan materi Delf Universiteit
Belanda yakni arsitektur kuno belanda yang notabene beriklim subtropik.
Dalam
perkembangannya, Indonesia menemukan kembali ‘nafas’ arsitektur
kontemporer Indonesia pada tahun 1955 semasa ITB dibawah pimpinan V.R.
van Romondt DIsadari kemudia bahwa arsitektur bukan segedar garis,
warna, dan bangunan, melainkan cerminan budaya dari masyarakat local.
Hal ini membawa perkembangan arsitektur kontemporer Indonesia kemudian
yang mulai mengadaptasikan nilai-nilai local terhadap paham modernism.
Arsitektur
kontemporer Indonesia berkembang pada tahun 1990-an ketika inovasi dan
modernisasi design mulai diperhatikan di Indonesia. Beberapa penghargaan
dikeluarkan IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) terhadap bangunan
bangunan inovatif baik dari segi design, keberlanjutan, maupun teknologi
dalam rangka memperkenalkan dan mengarahkan perkembangan style
arsitektur kontemporer Indonesia.
Cemeti Art House Yogyakarta
Cemeti
Art house adalah salah satu rumah seni yang terkenal di Yogyakarta
didesign oleh salah seorang arsitek Jogja yakni Eko Prawoto. Style
arsitektur Cemeti Art House yang biasanya digunakan memajang hasil karya
seni artist Jogja didesign sesuai dengan keragaman budaya masyarakat
yang tinggal di Yogyakarta. Tempat ini ‘menyambut’ visitor dengan
pendopo sebagai symbol keramah tamahan kota Jogja. Sekilas dari luar
sudah terlihat bahwa bangunan ini merupakan cermin budaya jawa. Ruang
ini juga menjadi penanda bahwa seni khususnya design arsitektur bisa
saja bersikap “medekatkan diri dengan lingkungan sosial budaya” dan seni
bisa dibangun dengan tetap berakar pada kebudayaan lokal.
Pendopo
di Cemeti Art House juga dibangun dengan kayu, dan beratap bamboo.
Bahan khas local yang tak perlu didatangkan dari negeri lain. Jika
pendopo dibangun dengan mengadaptasi bentuk joglo yang diinspirasi dari
budaya tradisional, maka bentuk ruang perantara dan ruang pamer utama
mengambil konsep industrial modern. Ruang pamer dibentuk dengan dinding
berwarna putih polos. Digunakan warna putih dan tidak diberi aksen
apapun agar ruang bersikap “netral”, dan ruangan ini dapat digunakan
semua artist dengan ‘aliran’ apapun.Pencahayaan juga dibuat sealami
mungkin dengan pencahayaan langsung dari luar dengan bukaan semaksimal
mungkin. Lantai ruangan secara keseluruhan menggunakan ubin berwarna
kuning dan bukan keramik. Dua wajah arsitektur di Cemeti, kontemporer
dan industrial inilah yang menggambarkan kedinamisan budaya yang terjadi
di Yogyakarta.
Pameran @ Cemeti Art House |
Interior Cemeti Art House |
Cemeti Art House dengan ubin dan dinding putihnya |
Sumber :
http://atelierriri.com/blog/?page_id=33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar