Rabu, 04 April 2012

KOTA DAN GLOBALISASI

. PENDAHULUAN
Kota adalah lingkungan yang dibentuk oleh manusia dalam kurun waktu yang cukup panjang, perkembangan sebuah kota tidak terlepas dari akumulasi setiap tahapannya dan dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti politik, ekonomi dan sosial budaya. Begitu juga dengan interaksi masyarakat yang terjadi di dalam ruang-ruang kota adalah merupakan proses sejarah yang nantinya akan sangat menentukan perkembangan kota pada tahap selanjutnya.
Dari interaksi-interaksi antara masyarakat yang tinggal di dalam ruang-ruang kota dan juga perubahan gaya hidup serta konflik antar kelompok masyarakat yang terjadi kemudian membentuk kualitas dan karakteristik kota sehingga kehidupan masyarakat di perkotaan mempunyai ciri khas dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat di wilayah sekitarnya, daya tarik inilah yang menyebabkan terjadinya urbanisasi. Kota bukanlah mediator bagi perubahan ke arah tujuan tertentu, melainkan sebagai pembuat perubahan (transformer) dan titik artikulasi, di kota-kotalah segala sesuatu terkonsentrasi dan tertata, kota praktis memperpendek semua jarak dan bahkan waktu. Kota mengartikulasikan tradisi dan modernitas, budaya lokal dan global, perekonomian dunia, perekonomian nasional dan lokal, jadi kota tidak mewakili bentuk masyarakat asli yang otentik, tidak juga mewakili masyarakat modern atau masyarakat barat yang terkucil[1].
Globalisasi adalah suatu proses yang ditandai dengan perluasan dan pendalaman integrasi pasar, jasa dan keuangan antar negara di dunia, proses ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat karena adanya dorongan universal untuk liberalisasi dan terobosan teknologi informasi, transportasi serta komunikasi yang menyebabkan akselerasi distribusi dan produksi dilakukan secara internasional.
Pengaruh globalisasi adalah faktor utama yang membuat keadaan berbeda dari masa yang lampau. Globalisasi menyebabkan tekanan pada kota di suatu wilayah menjadi lebih keras daripada sebelumnya (Massey, Allen dan Pile, 1999). Dunia saat ini telah ‘tenggelam’ dan menyebabkan hanya dua hal yang muncul (Allen, Massey, dan Pryke, 1999). Yang pertama adalah jaringan aktivitas yang sifatnya mendunia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan transnasional bisa memiliki jaringan produksi di berbagai negara, berlakunya nilai-nilai global yang berlaku di berbagai belahan dunia, dan juga penggunaan berbagai produk dunia yang diakibatkan oleh promosi yang gencar, seperti minuman Coca Cola dan computer IBM. Yang kedua adalah lebih kerapnya kontak di antara berbagai tempat. Pada saat ini kegiatan di suatu tempat tidak dapat dipisahkan dari kejadian yang berlangsung di tempat yang lain. Peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York menghancurkan harga saham di berbagai perusahaan, ledakan bom di kereta bawah tanah Kota London meningkatkan kesibukan seluruh petugas bandar udara di berbagai kota dunia, naiknya harga minyak bumi memperparah keadaan ekonomi negara yang masih sangat bergantung pada pasokan minyak bumi dari luar negeri, dan berbagai kejadian lain[2].
Tekanan arus globalisasi ini yang kemudian merubah penampilan kota secara fisik maupun non fisik, dalam artian kota yang dulunya adalah merupakan simbol kesejahteraan dan kesempatan berusaha bagi penduduk kota maupun wilayah-wilayah sekitarnya justeru sekarang kota menjadi sumber polusi dikarenakan makin banyaknya pabrik-pabrik sebagai bentuk dari ekspansi modal asing ke Indonesia, dan makin tingginya angka kemiskinan absolut di perkotaan yang ditandai dengan makin sulitnya para penduduk yang berpenghasilan dibawah standar mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar mereka seperti air, listrik dan lain-lain, serta bermunculannya pemukiman-pemukiman kumuh di wilayah kota yang disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat miskin mempunyai rumah layak huni.
Fenomena globalisasi ini bukan cuma sekedar perubahan terhadap proses sosial, atau proses sejarah ataupun proses alamiah yang akan menyatukan semua bangsa di dunia dalam satu ikatan. Proses globalisasi akan membuat dunia menjadi seragam, proses ini akan menghapus identitas dan jati diri, kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya baru yang disebut dengan globalisasi.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka akan timbul pertanyaan apakah globalisasi berdampak terhadap politik penataan ruang dan juga makin bertambahnya penduduk miskin di daerah yang kemudian menempati daerah-daerah kumuh yang terbentuk secara spontanitas dan tanpa disadari oleh pemerintah untuk mengatasi hal tersebut?
II. PEMBAHASAN
Ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia, yaitu perubahan dalam konsep ruang dan waktu dalam berbagai dimensi. Perkembangan aliran barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukan bahwa komunikasi global terjadi sedemikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.[3]
Pertumbuhan ekonomi secara global ini bersifat paradoks karena secara langsung negara-negara maju mengekspansi negera-negara berkembang melalui modal yang diinvestasikan oleh mereka di negara-negara tersebut, sehingga menimbulkan pandangan yang negatif terhadapnya, dari sudut pandang ini globalisasi dianggap sebagai kapitalisme dalam bentuk baru.
Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia khususnya Jakarta mengalami perubahan yang sangat signifikan sejak berlakukannya politik pintu terbuka, sejak saat itu perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Freeport dan Exxon dari Amerika, Unilever dari Belanda, British Proteleum dari Inggris dan beberapa perusahaan dunia lainnya membuka cabangnya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini sampai sekarang tetap menjadi ikon globalisasi di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan masuknya perusahaan-perusahaan retail dunia yang secara langsung maupun tidak langsung mematikan usaha-usaha retail pribumi yang telah ada sebelumnya.
Dampak dari perkembangan global ini sangat terasa dan bukan hanya pada kota-kota besar di tanah air tetapi sampai keseluruh pelosok tanah air. Dampak tersebut dapat terlihat pada penataan ruang kota yang mana lebih pro kapitalis dibandingkan berdasarkan kebutuhan masyarakat banyak, karena apabila kita telaah lebih jauh ruang-ruang di kota mempunyai beragam fungsi bagi masyarakat yang tinggal didalamnya serta berinteraksi sesama mereka.
seperti pendapat yang diungkapkan oleh Levebre “Ruang bukanlah objek ilmiah yang terpisah dari ideologi dan politik; ia selalu berwarna politis dan strategis. Bila ruang memiliki udara netralitas dan indifference (tanpa perbedaan) dalam hal isinya, sehingga ruang kelihatan seakan-akan “benar-benar” formal – istilah sederhana untuk abstraksi rasional – hal itu tentulah karena ia ditinggali dan digunakan, dan karena ia merupakan fokus dari proses-proses pada masa lampau yang jejaknya tidak selalu bisa dilihat dari lanskap yang ada sekarang. Ruang dibentuk dan ditempa dari elemen-elemen sejarah dan alam, tetapi prosesnya bersifat politik. Ruang adalah bersifat politis dan ideologis, dan ia adalah produk yang secara harfiah dipenuhi oleh ideologi-ideologi” [4].
Dalam perspektif ilmu politik, ruang berfungsi sebagai media atau sarana untuk mewujudkan kondisi kehidupan kelompok-kelompok masyarakat atau kelas-kelas sosial yang ada di dalam lingkungan ruang (spatial) dan juga sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai macam bentuk benturan kekuasaan yang terjadi di dalam masyarakat dan kemudian dikoordinasikan lewat kekuasaan politik. Oleh karena itu, penataan ruang kota tidak hanya sebatas sampai pada rasa aman dan nilai estetika tetapi harus menyentuh lebih dalam, pemenuhan kebutuhan yang cukup bagi kegiatan ekonomi. Hal ini, lebih lanjut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga masalah kemiskinan pada wilayah tersebut dapat teratasi.
Munculnya daerah-daerah kumuh pada kota disebabkan karena makin tingginya arus urbanisasi masyarakat dari wilayah-wilayah disekitar kota (hinterland) yang pergi ke kota dengan maksud untuk mencari pekerjaan, akan tetapi dengan skill yang terbatas mereka tidak mampu untuk bersaing mendapatkan pekerjaan yang baik dengan upah yang baik pula, sebagaian dari mereka hanya mampu bekerja sebagai buruh ataupun pekerjaan-pekerjaan lainnya, bahkan ada yang tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali, sehingga mereka tidak memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka seperti mempunyai tempat tinggal yang layak.
Ada sebagian dari masyarakat miskin tersebut yang bekerja sebagai pedagang kaki lima (sektor informal), sektor ini merupakan gejala umum yang sering terjadi pada perkotaan di seluruh Indonesia, justeru akhir-akhir ini perkembangan dari sektor ini mengalami perkembangan yang lumayan pesat dibandingkan dengan sektor formal karena keterbatasan peluang di sektor formal. Adapun bentuk-bentuk dari sektor informal ini adalah pedagang makanan, barang bekas, buku serta bentuk lain yang bersifat fleksibel.
Dalam pemanfaatan ruang kota, ada korelasi antara jarak dengan pusat kota dengan eksistensi sektor informal, semakin dekat dengan pusat kota, semakin banyak jumlah pedagang kaki lima. Realitas sosial ekonomi ini mengharuskan manajer kota harus memperhatikan realitasi sosial ekonomi ini. Walaupun pada kenyataannya pekerjaan informal di Indonesia tidak diakui secara formal. Orang-orang bekerja secara informal dikategorikan sebagai “Lumpen Proletariat” atau ”Proto Proletariat”, karena aktivitas-aktivitas mereka bermacam-macam dari perbaikan sampai perusahaan borjuasi kecil yang sukses, namun kebijakan dan regulasi negara dan pemerintah daerah/kota di Indonesia tidak mengakomodasi sektor ini sebagai sektor ekonomi penting, baik dalam rencana tata ruang ataupun dalam strategi pengembangan ekonomi kota[5].
Dari aspek estetika, adanya pemukiman kumuh ataupun keberadaan pedagang kaki lima tersebut sangat tidak menguntungkan atau merusak keindahan wajah kota, sehingga sering kali pemerintah melakukan penggusuran ataupun penertiban terhadap mereka dengan cara yang tidak persuasif. Tindakan yang diambil oleh pemerintah dengan maksud untuk memperindah kota sekaligus menghilangkan “penyakit kota”[6] ternyata mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi pada sektor informal di kota.
Penggusuran dan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum miskin kota juga merupakan akibat dari adanya aliran modal global secara besar-besaran ke kota yang mana membutuhkan ruang untuk pelaksanaannya, maka dari itu kota perlu menata kembali ruang-ruang yang ada di kota, namun penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah lebih pro kapitalis dan sangat tidak memiliki sentuhan humanis.
Sedangkan proyek-proyek pembangunan perumahan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini justeru lebih berpihak pada produksi rumah secara langsung terutama bagi masyarakat golongan menengah ke atas bukan pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Sebenarnya banyak contoh yang dapat kita pelajari dari keberhasilan di tempat-tempat lain, seperti yang terjadi di Bogota; dari kota yang tanpa karakter, semrawut, macet, polutif dan penuh pemukiman liar pada beberapa tahun yang silam, saat ini justeru menjadi kota yang sangat humanis dalam penataannya.
Yang dilakukan oleh Pemerintah Bogota sebelum melakukan penggusuran untuk menata ulang ruang-ruang yang ada di kota adalah dengan cara membangun komunikasi yang utuh dengan masyarakat guna menumbuhkan iklim partisipasi publik. Sebelum Pemerintah Bogota melakukan penggusuran, terlebih dahulu mereka membangun pemukiman yang tertata bagus di pinggiran kota yang disertai dengan fasilitas sosial dan umum yang lengkap sehingga masyarakat-masyarakat yang akan dipindahkan ke lokasi baru tersebut tidak kehilangan suasana kota, walaupun pemukiman baru yang dibangun ini berbentuk rumah susun akan tetapi rumah susun dimaksud lebih manusiawi apabila dibandingkan dengan rumah susun yang ada di Jakarta[7].
III. KESIMPULAN
Pada saat sekarang kota telah bertumbuh dan berkembang menjadi kawasan yang sangat kompleks, diliputi oleh berbagai masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang merupakan akibat dari proses globalisasi. Fenomena globalisasi ini, dapat berdampak positif maupun negatif, dampak positif dari fenomena adalah dengan makin terbukanya lapangan kerja baru, serta penetrasi arus informasi secara global yang memungkinkan orang dapat saling berkomunikasi dengan orang lain pada belahan bumi lainnya dan kemajuan-kemajuan pada bidang lainnya.
Namun dampak negatif yang dirasakan dari fenomena ini adalah makin tingginya arus urbanisasi dari desa ke kota, yang menyebabkan makin tingginya angka kemiskinan kota. Dengan makin terbukanya peluang untuk bekerja ternyata menghasilkan para pekerja yang di upah sangat rendah sehingga cita-cita mereka bekerja untuk meningkatkan taraf hidup justeru semakin terpuruk karena penghasilan yang didapat setiap bulannya tidak bias dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kunci utama untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi ini sebenarnya ada pada political will pemerintah untuk mengatur semua hal yang berhubungan dengan adanya arus globalisasi yang berlebihan, bukan malah sebaliknya pemerintah melapangkan jalan masuknya proses ini kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, dengan alasan bahwa proses tersebut dapat mensejahterakan masyarakat, namun pada kenyataannya hanya mensejahterakan segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu.
Aplikasi dari pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat seharusnya dilandasi juga oleh sifat pemerintah yang lebih pro rakyat bukan lebih mendukung intervensi modal asing. Program maupun kebijakan pembangunan yang akan dibuat oleh pemerintah khususnya pada bidang penataan ruang kiranya lebih mengutamakan tema pro poor planning sehingga kejadian-kejadian anarkis pada saat penggusuran lingkungan kumuh ataupun penertiban pedagang kaki lima tidak perlu terjadi.
Karena proses penataan ruang adalah proses multidimensional yang dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga daerah termasuk didalamnya pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan daerah dan pemberantasan kemiskinan absolut yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Evers dan Korff, Urbanisme di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Juli 2002;
Nurmandi, Ahmad., Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia, Sinergi Publishing, Juni 2006;
Modul., Kota, Sistem Kota-kota, Kota dan Wilayah Belakangnya, www.pps.ui.ac.id, diakses pada tanggal 11 Februari 2008;
Sri Haryati dan Ahmad Yani., Geografi Politik, PT. Refika Aditama, Bandung, November 2007;
Sapto, Nugroho., Kuncinya Political Will Pemerintah, Artikel, www.b2w.reynaldi.or.id, diakses pada tanggal 15 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar