Kota
adalah lingkungan yang dibentuk oleh manusia dalam kurun waktu yang
cukup panjang, perkembangan sebuah kota tidak terlepas dari akumulasi
setiap tahapannya dan dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti politik,
ekonomi dan sosial budaya. Begitu juga dengan interaksi masyarakat yang
terjadi di dalam ruang-ruang kota adalah merupakan proses sejarah yang
nantinya akan sangat menentukan perkembangan kota pada tahap
selanjutnya.
Dari
interaksi-interaksi antara masyarakat yang tinggal di dalam
ruang-ruang kota dan juga perubahan gaya hidup serta konflik antar
kelompok masyarakat yang terjadi kemudian membentuk kualitas dan
karakteristik kota sehingga kehidupan masyarakat di perkotaan mempunyai
ciri khas dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat di wilayah
sekitarnya, daya tarik inilah yang menyebabkan terjadinya urbanisasi.
Kota bukanlah mediator bagi perubahan ke arah tujuan tertentu,
melainkan sebagai pembuat perubahan (transformer) dan titik
artikulasi, di kota-kotalah segala sesuatu terkonsentrasi dan tertata,
kota praktis memperpendek semua jarak dan bahkan waktu. Kota
mengartikulasikan tradisi dan modernitas, budaya lokal dan global,
perekonomian dunia, perekonomian nasional dan lokal, jadi kota tidak
mewakili bentuk masyarakat asli yang otentik, tidak juga mewakili
masyarakat modern atau masyarakat barat yang terkucil[1].
Globalisasi
adalah suatu proses yang ditandai dengan perluasan dan pendalaman
integrasi pasar, jasa dan keuangan antar negara di dunia, proses ini
telah mengalami kemajuan yang sangat pesat karena adanya dorongan
universal untuk liberalisasi dan terobosan teknologi informasi,
transportasi serta komunikasi yang menyebabkan akselerasi distribusi
dan produksi dilakukan secara internasional.
Pengaruh
globalisasi adalah faktor utama yang membuat keadaan berbeda dari masa
yang lampau. Globalisasi menyebabkan tekanan pada kota di suatu
wilayah menjadi lebih keras daripada sebelumnya (Massey, Allen dan
Pile, 1999). Dunia saat ini telah ‘tenggelam’ dan menyebabkan hanya dua
hal yang muncul (Allen, Massey, dan Pryke, 1999). Yang pertama
adalah jaringan aktivitas yang sifatnya mendunia. Sebagai contoh,
sebuah perusahaan transnasional bisa memiliki jaringan produksi di
berbagai negara, berlakunya nilai-nilai global yang berlaku di berbagai
belahan dunia, dan juga penggunaan berbagai produk dunia yang
diakibatkan oleh promosi yang gencar, seperti minuman Coca Cola dan
computer IBM. Yang kedua adalah lebih kerapnya
kontak di antara berbagai tempat. Pada saat ini kegiatan di suatu
tempat tidak dapat dipisahkan dari kejadian yang berlangsung di tempat
yang lain. Peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York menghancurkan
harga saham di berbagai perusahaan, ledakan bom di kereta bawah tanah
Kota London meningkatkan kesibukan seluruh petugas bandar udara di
berbagai kota dunia, naiknya harga minyak bumi memperparah keadaan
ekonomi negara yang masih sangat bergantung pada pasokan minyak bumi
dari luar negeri, dan berbagai kejadian lain[2].
Tekanan
arus globalisasi ini yang kemudian merubah penampilan kota secara
fisik maupun non fisik, dalam artian kota yang dulunya adalah merupakan
simbol kesejahteraan dan kesempatan berusaha bagi penduduk kota maupun
wilayah-wilayah sekitarnya justeru sekarang kota menjadi sumber polusi
dikarenakan makin banyaknya pabrik-pabrik sebagai bentuk dari ekspansi
modal asing ke Indonesia, dan makin tingginya angka kemiskinan absolut
di perkotaan yang ditandai dengan makin sulitnya para penduduk yang
berpenghasilan dibawah standar mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar
mereka seperti air, listrik dan lain-lain, serta bermunculannya
pemukiman-pemukiman kumuh di wilayah kota yang disebabkan karena
ketidakmampuan masyarakat miskin mempunyai rumah layak huni.
Fenomena
globalisasi ini bukan cuma sekedar perubahan terhadap proses sosial,
atau proses sejarah ataupun proses alamiah yang akan menyatukan semua
bangsa di dunia dalam satu ikatan. Proses globalisasi akan membuat
dunia menjadi seragam, proses ini akan menghapus identitas dan jati
diri, kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya
baru yang disebut dengan globalisasi.
Berdasarkan
pada penjelasan di atas, maka akan timbul pertanyaan apakah
globalisasi berdampak terhadap politik penataan ruang dan juga makin
bertambahnya penduduk miskin di daerah yang kemudian menempati
daerah-daerah kumuh yang terbentuk secara spontanitas dan tanpa
disadari oleh pemerintah untuk mengatasi hal tersebut?
II. PEMBAHASAN
Ciri
yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia,
yaitu perubahan dalam konsep ruang dan waktu dalam berbagai dimensi.
Perkembangan aliran barang-barang seperti telepon genggam, televisi
satelit, dan internet menunjukan bahwa komunikasi global terjadi
sedemikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme
memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.[3]
Pertumbuhan
ekonomi secara global ini bersifat paradoks karena secara langsung
negara-negara maju mengekspansi negera-negara berkembang melalui modal
yang diinvestasikan oleh mereka di negara-negara tersebut, sehingga
menimbulkan pandangan yang negatif terhadapnya, dari sudut pandang ini
globalisasi dianggap sebagai kapitalisme dalam bentuk baru.
Perkembangan
dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia khususnya Jakarta mengalami
perubahan yang sangat signifikan sejak berlakukannya politik pintu
terbuka, sejak saat itu perusahaan-perusahaan besar dunia seperti
Freeport dan Exxon dari Amerika, Unilever dari Belanda, British
Proteleum dari Inggris dan beberapa perusahaan dunia lainnya membuka
cabangnya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini sampai sekarang tetap
menjadi ikon globalisasi di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan
masuknya perusahaan-perusahaan retail dunia yang secara langsung maupun
tidak langsung mematikan usaha-usaha retail pribumi yang telah ada
sebelumnya.
Dampak
dari perkembangan global ini sangat terasa dan bukan hanya pada
kota-kota besar di tanah air tetapi sampai keseluruh pelosok tanah air.
Dampak tersebut dapat terlihat pada penataan ruang kota yang mana
lebih pro kapitalis dibandingkan berdasarkan kebutuhan masyarakat
banyak, karena apabila kita telaah lebih jauh ruang-ruang di kota
mempunyai beragam fungsi bagi masyarakat yang tinggal didalamnya serta
berinteraksi sesama mereka.
seperti
pendapat yang diungkapkan oleh Levebre “Ruang bukanlah objek ilmiah
yang terpisah dari ideologi dan politik; ia selalu berwarna politis dan
strategis. Bila ruang memiliki udara netralitas dan indifference
(tanpa perbedaan) dalam hal isinya, sehingga ruang kelihatan
seakan-akan “benar-benar” formal – istilah sederhana untuk abstraksi
rasional – hal itu tentulah karena ia ditinggali dan digunakan, dan
karena ia merupakan fokus dari proses-proses pada masa lampau yang
jejaknya tidak selalu bisa dilihat dari lanskap yang ada sekarang.
Ruang dibentuk dan ditempa dari elemen-elemen sejarah dan alam, tetapi
prosesnya bersifat politik. Ruang adalah bersifat politis dan
ideologis, dan ia adalah produk yang secara harfiah dipenuhi oleh
ideologi-ideologi” [4].
Dalam
perspektif ilmu politik, ruang berfungsi sebagai media atau sarana
untuk mewujudkan kondisi kehidupan kelompok-kelompok masyarakat atau
kelas-kelas sosial yang ada di dalam lingkungan ruang (spatial)
dan juga sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai macam bentuk
benturan kekuasaan yang terjadi di dalam masyarakat dan kemudian
dikoordinasikan lewat kekuasaan politik. Oleh karena itu, penataan
ruang kota tidak hanya sebatas sampai pada rasa aman dan nilai estetika
tetapi harus menyentuh lebih dalam, pemenuhan kebutuhan yang cukup
bagi kegiatan ekonomi. Hal ini, lebih lanjut akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga masalah kemiskinan pada wilayah
tersebut dapat teratasi.
Munculnya
daerah-daerah kumuh pada kota disebabkan karena makin tingginya arus
urbanisasi masyarakat dari wilayah-wilayah disekitar kota (hinterland) yang pergi ke kota dengan maksud untuk mencari pekerjaan, akan tetapi dengan skill
yang terbatas mereka tidak mampu untuk bersaing mendapatkan pekerjaan
yang baik dengan upah yang baik pula, sebagaian dari mereka hanya mampu
bekerja sebagai buruh ataupun pekerjaan-pekerjaan lainnya, bahkan ada
yang tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali, sehingga mereka tidak
memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka seperti mempunyai tempat tinggal
yang layak.
Ada
sebagian dari masyarakat miskin tersebut yang bekerja sebagai pedagang
kaki lima (sektor informal), sektor ini merupakan gejala umum yang
sering terjadi pada perkotaan di seluruh Indonesia, justeru akhir-akhir
ini perkembangan dari sektor ini mengalami perkembangan yang lumayan
pesat dibandingkan dengan sektor formal karena keterbatasan peluang di
sektor formal. Adapun bentuk-bentuk dari sektor informal ini adalah
pedagang makanan, barang bekas, buku serta bentuk lain yang bersifat
fleksibel.
Dalam pemanfaatan
ruang kota, ada korelasi antara jarak dengan pusat kota dengan
eksistensi sektor informal, semakin dekat dengan pusat kota, semakin
banyak jumlah pedagang kaki lima. Realitas sosial ekonomi ini
mengharuskan manajer kota harus memperhatikan realitasi sosial ekonomi
ini. Walaupun pada kenyataannya pekerjaan informal di Indonesia tidak
diakui secara formal. Orang-orang bekerja secara informal dikategorikan
sebagai “Lumpen Proletariat” atau ”Proto Proletariat”,
karena aktivitas-aktivitas mereka bermacam-macam dari perbaikan sampai
perusahaan borjuasi kecil yang sukses, namun kebijakan dan regulasi
negara dan pemerintah daerah/kota di Indonesia tidak mengakomodasi
sektor ini sebagai sektor ekonomi penting, baik dalam rencana tata ruang
ataupun dalam strategi pengembangan ekonomi kota[5].
Dari
aspek estetika, adanya pemukiman kumuh ataupun keberadaan pedagang
kaki lima tersebut sangat tidak menguntungkan atau merusak keindahan
wajah kota, sehingga sering kali pemerintah melakukan penggusuran
ataupun penertiban terhadap mereka dengan cara yang tidak persuasif.
Tindakan yang diambil oleh pemerintah dengan maksud untuk memperindah
kota sekaligus menghilangkan “penyakit kota”[6] ternyata mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi pada sektor informal di kota.
Penggusuran
dan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum miskin
kota juga merupakan akibat dari adanya aliran modal global secara
besar-besaran ke kota yang mana membutuhkan ruang untuk pelaksanaannya,
maka dari itu kota perlu menata kembali ruang-ruang yang ada di kota,
namun penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah lebih pro kapitalis
dan sangat tidak memiliki sentuhan humanis.
Sedangkan
proyek-proyek pembangunan perumahan yang dijalankan oleh pemerintah
selama ini justeru lebih berpihak pada produksi rumah secara langsung
terutama bagi masyarakat golongan menengah ke atas bukan pada
masyarakat golongan menengah ke bawah. Sebenarnya banyak contoh yang
dapat kita pelajari dari keberhasilan di tempat-tempat lain, seperti
yang terjadi di Bogota; dari kota yang tanpa karakter, semrawut, macet,
polutif dan penuh pemukiman liar pada beberapa tahun yang silam, saat
ini justeru menjadi kota yang sangat humanis dalam penataannya.
Yang
dilakukan oleh Pemerintah Bogota sebelum melakukan penggusuran untuk
menata ulang ruang-ruang yang ada di kota adalah dengan cara membangun
komunikasi yang utuh dengan masyarakat guna menumbuhkan iklim
partisipasi publik. Sebelum Pemerintah Bogota melakukan penggusuran,
terlebih dahulu mereka membangun pemukiman yang tertata bagus di
pinggiran kota yang disertai dengan fasilitas sosial dan umum yang
lengkap sehingga masyarakat-masyarakat yang akan dipindahkan ke lokasi
baru tersebut tidak kehilangan suasana kota, walaupun pemukiman baru
yang dibangun ini berbentuk rumah susun akan tetapi rumah susun
dimaksud lebih manusiawi apabila dibandingkan dengan rumah susun yang
ada di Jakarta[7].
III. KESIMPULAN
Pada
saat sekarang kota telah bertumbuh dan berkembang menjadi kawasan yang
sangat kompleks, diliputi oleh berbagai masalah sosial, ekonomi dan
lingkungan yang merupakan akibat dari proses globalisasi. Fenomena
globalisasi ini, dapat berdampak positif maupun negatif, dampak positif
dari fenomena adalah dengan makin terbukanya lapangan kerja baru,
serta penetrasi arus informasi secara global yang memungkinkan orang
dapat saling berkomunikasi dengan orang lain pada belahan bumi lainnya
dan kemajuan-kemajuan pada bidang lainnya.
Namun
dampak negatif yang dirasakan dari fenomena ini adalah makin tingginya
arus urbanisasi dari desa ke kota, yang menyebabkan makin tingginya
angka kemiskinan kota. Dengan makin terbukanya peluang untuk bekerja
ternyata menghasilkan para pekerja yang di upah sangat rendah sehingga
cita-cita mereka bekerja untuk meningkatkan taraf hidup justeru semakin
terpuruk karena penghasilan yang didapat setiap bulannya tidak bias
dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kunci utama untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi ini sebenarnya ada pada political will
pemerintah untuk mengatur semua hal yang berhubungan dengan adanya
arus globalisasi yang berlebihan, bukan malah sebaliknya pemerintah
melapangkan jalan masuknya proses ini kedalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, dengan alasan bahwa proses tersebut dapat mensejahterakan
masyarakat, namun pada kenyataannya hanya mensejahterakan segelintir
orang atau kelompok-kelompok tertentu.
Aplikasi
dari pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan oleh pemerintah
demi kesejahteraan masyarakat seharusnya dilandasi juga oleh sifat
pemerintah yang lebih pro rakyat bukan lebih mendukung intervensi modal
asing. Program maupun kebijakan pembangunan yang akan dibuat oleh
pemerintah khususnya pada bidang penataan ruang kiranya lebih
mengutamakan tema pro poor planning sehingga kejadian-kejadian
anarkis pada saat penggusuran lingkungan kumuh ataupun penertiban
pedagang kaki lima tidak perlu terjadi.
Karena proses penataan ruang adalah proses multidimensional yang
dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah yang
melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan
lembaga daerah termasuk didalamnya pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketimpangan daerah dan pemberantasan kemiskinan absolut yang pada
akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Evers dan Korff, Urbanisme di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Juli 2002;
Nurmandi, Ahmad., Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia, Sinergi Publishing, Juni 2006;
Modul., Kota, Sistem Kota-kota, Kota dan Wilayah Belakangnya, www.pps.ui.ac.id, diakses pada tanggal 11 Februari 2008;
Sri Haryati dan Ahmad Yani., Geografi Politik, PT. Refika Aditama, Bandung, November 2007;
Sapto, Nugroho., Kuncinya Political Will Pemerintah, Artikel, www.b2w.reynaldi.or.id, diakses pada tanggal 15 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar