Rabu, 22 Februari 2012

Pembiayaan Pembangunan Beberapa Kota di Dunia


PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DI PERKOTAAN
Pembiayaan pembangunan di perkotaan semakin lama semakin menjadi kebutuhan yang mendesak antara lain karena : pertama, jumlah penduduk akibat pengaruh proses urbanisasi semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun; kedua, kemampuan keuangan pemerintah daerah cenderung masih terbatas dan masih snagat bergantung kepada pembiayaan dari Pemerintah Pusat. Padahal potensi ekonomi dan keuangan di kawasan perkotaan pada dasarnya memadai, sehingga dicetuskan sebagai sebuah daerah yang otonom. Sehingga pada prinsipnya, terdapat sumber-sumber pembiayaan untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan Pemerintah Kota, yang kemudian akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana sehingga dapat membantu meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat kota.
Beberapa peluang dan potensi yang dimiliki oleh pemerintah, khususnya berkaitan dengan mobilisasi sumber penerimaan yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah umumnya masih bersifat konvensional (tradisional), seperti misalnya pajak, retribusi dan pinjaman. Namun pada kenyataannya, di luar sumber-sumber yang bersifat konvensional tersebut masih banyak jenis sumber-sumber lainnya yang bersifat non-konvensional (non-tradisional), yang sebenarnya berpotensi tinggi untuk dikembangkan, seperti misalnya betterment levies, development impact fees, excess condemnation, obligasi, dan sebagainya.
Secara umum tipologi instrumen keuangan bagi pembangunan perkotaan diperoleh dari 3 (tiga) sumber, pertama, Pemerintah (public); kedua, Swasta (private); dan ketiga, Gabungan antara pemerintah dan swasta. Beberapa metode pembiayaan bagi pembangunan kawasan perkotaan diantaranya :
1. Pendapatan (pay-as-you-go). Membiayai pengeluaran untuk fasilitas dengan pendapatan daerah saat ini (PAD). Pada prinsipnya, metode ini berupaya membiayai pengeluaran dengan pendapatan yang dihasilkan Pemerintah pada saat ini. Sumber dana yang tersedia berasal dari pajak, retribusi, dan alokasi dana dari Pemerintah Pusat (dana perimbangan). Namun akibat jumlahnya yang terbatas dan peruntukannya yang sangat umum, maka hanya dapat digunakan untuk investasi skala kecil.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
· Tidak dikenai bunga, seperti pada pinjaman,
· Lebih fleksibel dalam penggunaan dana,
· Meningkatkan kredibilitas Pemerintah.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
· Jumlah dana lebih kecil dibanding kebutuhan,
· Kontributor bukan yang menikmati hasil investasi,
· Dapat disertai kenaikan pungutan.
2. Pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka panjang merupakan metode pembiayaan yang dana diperoleh dari pinjaman dari Pemerintah Pusat atau lembaga donor, bank komersial atau penerbitan surat hutang (obligasi) yang idealnya berumur sama dengan umur fasilitas. Penerapan metode ini sebagaimana telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah, berupaya memanfaatkan sumber dana murah, dari Pemerintah Pusat atau lembaga pemberi bantuan misalnya untuk pembangunan jaringan jalan antar kota, bandara dan lain sebagainya.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
· Biaya bunga relatif murah.
· Dapat digunakan untuk proyek berskala besar.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
· Tidak diberikan secara otomatis, perlu mengikuti proses tender, penilaian dst.
· Seringkali mensyaratkan dana pendamping.
· Proyek yang dibiayai tidak selalu menjadi prioritas di tingkat daerah.
3. Penyewaan. Salah satu bentuk pembiayaan yang umum dilakukan adalah penyewaan. Dalam hal ini pemerintah memperoleh fasilitas yang dibutuhkannya dalam melakukan pelayanan publik dengan cara menyewa, atau dengan memegang opsi kepada pemilikan infrastruktur, prasarana dan sarana tersebut.
Misalkan, Pemerintah Kota atau BUMD membutuhkan suatu peralatan yang akan dioperasikan untuk kepentingan masyarakat kota. Maka alat tersebut dapat diperoleh dengan cara sewa, artinya Pemerintah Kota (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Mekanisme penyewaan ini biasanya dilakukan melalui institusi keuangan (bank atau lainnya).
Dalam metode penyewaan, selain model sewa, juga dikenal model sewa beli, yang mana pihak Pemerintah Kota atau BUMD yang membutuhkan suatu peralatan untuk kepentingan masyarakat kota akan memperolehnya dengan cara menyewa beli, artinya Pemkot (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Bedanya dengan sistem sewa adalah pada akhir masa sewa, alat yang dipinjam tersebut akan menjadi milik Pemerintah Kota. Sistem ini juga umumnya menggunakan bantuan jasa lembaga keuangan.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
· Pola sewa-menyewa memperkecil risiko jika pengoperasian sarana/prasarana tidak berjalan baik.
· Menyerupai pinjaman jangka panjang.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
· Biaya sewa biasanya lebih tinggi dari bunga pinjaman.
· Penggunaan hanya untuk sarana/prasarana tertentu.
· “Menyewa” memberi kesan lebih rendah dari “memiliki.”
Bentuk-bentuk metode pembiayaan tersebut diatas merupakan metode yang umum tidak hanya diterapkan pada kota-kota di Indonesia, namun juga dapat ditemui pada kota-kota di Dunia.

METODE PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KOTA-KOTA DI DUNIA
Pada dasarnya kebijaksanaan untuk menentukan metode pembiayaan pembangunan yang diterapkan, sepenuhnya merupakan keputusan bagi Pemerintah yang ditunjuk. Pada penerapannya, metode yang digunakan untuk diterapkan pada setiap wilayah administrasi akan berbeda-beda walaupun memiliki karakteristik geografis, administratif dan sosial budaya yang hampir sama. Hal ini dikarenakan masing-masing wilayah administratif memiliki kebijakan yang sama dalam menjaga stabilitas ekonomi makro wilayahnya sendiri, yang pada umumnya berupaya menuju defisit fiskal yang terkendali, laju inflasi yang relatif rendah, maupun nilai tukar yang stabil.
Metode Pembiayaan Pembangunan di Kota Melbourne, Australia
Saat ini, Kota Melbourne telah mencapai keberhasilan ekonomi melalui pengelolaan pembiayaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun melalui kerjasama pemerintah dan swasta. Pemerintah Kota Melbourne memiliki, menguasai, dan mengatur alokasi modal, tenaga kerja, dan lahan sebagai modal dalam membiayai pembangunan di Melbourne, hingga terciptanya keseimbangan dalam penyediaan pelayanan sosial dan infrastruktur bagi masyarakat . Metode-metode pembiayaan pembangunan yang diterapkan di Kota Melbourne mencakup beberapa macam metode, antara lain:
1. Pendapatan (pay-as-you-go). Di Kota Melbourne, maupun di kota-kota Negara Australia lainnya, diberlakukan metode pembiayaan pay-as-you-go withholding arrangements (PAYG) yang menggantikan metode pembiayaan pay-as-you-earn arrangements (PAYE) ketika sistem pajak yang baru diperkenalkan pada bulan Juli tahun 2000. Pengaturan yang baru ini tidak membatasi pada pengaturan pekerjaan dan menggantikan Prescribed Payments System dan Reportable Payments System.
Pada saat sebelum penerapan PAYG, pengusaha telah dikurangi pajaknya dari pembayaran mingguan atau setiap dua minggu atas nama Kantor Pajak Australia (Australian Taxation Office, ATO) sejak Perang Dunia II melalui sistem pay-as-you-earn (PAYE system).
Sebuah sistem baru, yaitu pay-as-you-go (PAYG) untuk non-penerima upah dan gaji disebut pay-as-you-go (PAYG), yang menggabungkan sistem PAYE, diperkenalkan pada tahun 2000. Sistem ini terikat ke pengaturan koleksi untuk pajak barang dan jasa (Goods and Services Tax, GST) dan sistem pemotongan untuk pembayaran bisnis untuk orang yang tidak memiliki nomor bisnis Australia (Australian Business Number, ABN).
Pay-as-you-go adalah sistem perpajakan di Australia yang diberlakukan melalui pemotongan pajak dari karyawan dan penerima pembayaran lainnya, berupa pembayaran reguler mereka dari majikan, dan pembayar lainnya, misalnya untuk dana pensiun. Hal ini digunakan untuk mengumpulkan pajak penghasilan, Program Pinjaman Pendidikan Tinggi (Higher Education Loan Programme, HELP) pembayaran kembali, dan pembayaran Medicare.
2. Public-Private Partnership. Kota Melbourne pun menerapkan metode pembiayaan lainnya, yaitu dengan melalui metode pembiayaan public-private partnership. Di Kota Merbourne, metoda ini dikenal dengan istilah Kerangka Kerja Kemitraan Victoria (The Partnerships Victoria Framework). Metode ini biasanya digunakan untuk pembiayaan peny penyediaan infrastruktur publik dan layanan tambahan yang terkait.
The Partnerships Victoria Framework terdiri dari Kebijakan dan Pedoman Nasional public-private partnership (PPP) yang telah disepakati oleh COAG pada bulan November 2008 dalam kaitannya dengan negara tertentu. Kebijakan ini fokus pada biaya keseluruhan dan pertimbangan risiko proyek serta alokasi resiko yang optimal antara sektor publik dan swasta. Ada sebuah pendekatan yang jelas untuk penilaian nilai uang dan kepentingan umum dilindungi oleh tes kepentingan formal publik. Metoda pembiayaan the partnership Victoria Framework sangat berguna untuk pembiayaan proyek-proyek yang membutuhkan modal besar dan kompleks dengan peluang untuk inovasi dan transfer risiko.
3. Capital Grants. Metode pembiayaan lainnya yang diterapkan di Kota Melbourne adalah metode Capital Grants. Metode ini diterapkan untuk tahun anggaran 2010/2011. Pada tahun anggaran 2010 / 2011, akan disediakan dana hibah untuk mempertahankan program kerja pada asset dan tidak secara langsung dimiliki oleh Kota Melbourne. Beberapa kegiatan yang menggunakan modal hibah adalah proyek yang lebih signifikan , termasuk di dalamnya Street Lighting Improvements ($0.50 M), instalasi Traffic signal dan upgrades ($0.42 M). Metode ini juga pernah diterapkan di Kota Melbourne untuk penyediaan pipa jaringan air minum kota.
Metode Pembiayaan Pembangunan di Kota Surabaya, Indonesia
Manajemen kota Surabaya dikelola oleh pihak Pemerintah Daerah, berdasarkan arahan dan kontrol dari pihak Pemerintah Pusat, dan dalam prosesnya, turut melibatkan masyarakat dan pihak swasta. Namun demikian, pengelolaan kota masih didominasi oleh pihak Pemerintah Daerah. Hal tersebut berarti bahwa birokrasi pemerintahan dalam manajemen kota Surabaya memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan jalannya pembangunan dan pengembangan kota tersebut .
Dengan adanya otonomi daerah saat ini, yakni berupa pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaan dan penggunaan anggaran. Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan daerah, untuk kota Surabaya khususnya, akan lebih difokuskan pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Kota Surabaya tahun 2006 – 2010 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 9,31 persen dan pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh adanya pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen Dana Perimbangan yang masing-masing diperkirakan tumbuh rata-rata sekitar 15,60 persen dan 5,55 persen (Pemkot Surabaya., 2005) .
Pendapatan kota Surabaya lebih besar diperoleh dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum. Khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak, kebijakan-kebijakan yang mendukungnya dalam beberapa kurun waktu terakhir terus disempurnakan oleh pihak pemerintah, yang dalam hal ini berperan sebagai regulator. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 2A tentang Hasil Penerimaan Pajak Propinsi yang diperuntukkan bagi Daerah Kota/Kabupaten di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan Kota Surabaya mendapat bagian PKB dan BBN-KB sebesar 70% dari bagian 30% PKB dan BBN-KB.
Lebih lanjut, terkait sistem pembiayaan pembangunan kota Surabaya, bisa dikatakan hampir sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme Pemerintahan Kota. Hal tersebut sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini. Namun demikian, dalam prakteknya, banyak ditemukan kendala dan masalah pendanaan yang pada akhirnya menjadikan pembangunan dan pengembangan kota menjadi kurang optimal dan berjalan lambat.
Pendapatan Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 diperoleh dari sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah. Sumber pendapatan ini berasal dari : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, penerimaan jasa giro, penerimaan bunga deposito, penerimaan ganti kerugian daerah, pendapatan denda atas keterlambatan dan penerimaan lain-lain.
2. Dana Perimbangan. Sumber pendapatan ini berasal dari : Bagi Hasil Pajak, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); Pajak Penghasilan (PPh); dan Pendapatan Cukai Hasil Tembakau. Bagi Hasil Bukan Pajak. Dana Alokasi Umum. dan Dana Alokasi Khusus.
3. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah Bagi Hasil Propinsi yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT), Sumbangan Pihak Ketiga (SP-3) dan Dana Bagi Hasil Lainnya yang berasal dari Retribusi IMTA, Retribusi TERA, Retribusi Pemakaian dan Pengujian Hasil Hutan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten di Jawa Timur. Selain itu, terkait dengan target penerimaan pembiayaan khususnya, penerimaan pembiayaan kota Surabaya tahun 2010 diperkirakan hanya bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).
Metode Pembiayaan Pembangunan di Negara Bagian California, Amerika Serikat
Sistem federalisme di Amerika Serikat memberikan ruang kekuasaan yang cukup besar bagi setiap negara bagian untuk menentukan anggaran dan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Pengaturan tersebut “provision”. Provision berdasarkan Vasche, William dan Ingenito dalam Sun dan Lynch, 2007 adalah penentuan penanggaran biaya-biaya penyelenggaraan yang ditentukan langsung oleh rakyat melalui referendum. Karenanya penganggaran pada negara bagian California membutuhkan :
· Budgetary vote requirement. Pengambilan keputusan terkait anggaran/pembiayaan membutuhkan dua pertiga dukungan masyarakat. California adalah salah satu negara bagian yang membutuhkan dukungan dua pertiga pemilih untuk menaikkan pajak.
· Balanced budget privision and borrowing. Setiap anggaran yang akan diputuskan menjadi kebijakan/peraturan harus bersifat berimbang.
· Spending Limit. Anggaran yang direncanakan harus memiliki batasan sehingga sejalan dengan jumlah populasi dan inflasi.
· Education funding guarantee. Salah satu keunikan kebijakan pembiayaan di California adalah pembiayaan pendidikan yang disediakan pemerintah karena terikat pada provision.
· Budgetary reserve. Berdasarkan konstitusi setiap anggaran memiliki cadangan.
Dari sisi kebutuhan penerimaan dan pembiayaan dan dengan hubungannya dengan seluruh kebutuhan pemerintahan lokal California dibutuhkan total anggaran sebesar $350 billion. Penerimaan dan pembiayaan tersebut dibagi dengan angka 65/35 untuk 7.000 institusi yang harus melakukan pembiayaan di negara bagian tersebut. Institusi lokal juga diwajibkan untuk mendanai sebagian dari kegiatan. Sedangkan pemerintah negara bagian menanggung 65 persen biaya melalui berbagai mekanisme pembiayaan, seperti direct payment, grant, reimbursement dan lainnya (Vasche, William dan Ingenito dalam Sun dan Lynch, 2007:68).
Berikut adalah karakter dasar ekonomi California yang bisa menjadi acuan penerimaan dan pembiayaan di California (Vasche, William dan Ingenito dalam Sun dan Lynch, 2007:79) :
1. Total Gross Domestic Product (GDP) mencapai $1,6 trillion per tahunnya. Ini merupakan GDP tertinggi di Amerika Serikat dan menempati posisi ke-8 negara-negara di dunia.
2. California memiliki 120 nonagrikultur industri yang beroperasi di negara bagian tersebut. Sementara itu, California merupakan negara bagian dengan aktivitas agrikultur terbesar di Amerika Serikat dengan total pendapatan per tahunnya sebesar $32 billion, dan menyebar ke dalam 250 produk pertanian dan peternakan.
3. Sementara itu industri di sektor IT juga memberikan pemasukan yang luar biasa, yaitu sebesar $400 billion per tahunnya.
Berdasarkan data sampai dengan tahun 2007, penyumbang terbesar penerimaan California yang mencapai delapan puluh persen (80%) dari penerimaan State Revenue dan sembilan puluh lima persen (95%) dari General Fund Revenue adalah personal income tax (PIT), sales dan used tax (SUT), dan corporate tax (CT).
Sebaran anggaran terbesar kedua adalah health and human services. Pelayanan kesehatan dan sosial ternyata mendapatkan anggaran terbesar kedua. Sedangkan anggaran ketiga yang mendapatkan nilai yang cukup besar adalah Higher Education. Terlihat bahwa sebaran anggaran mengarah kepada kebutuhan-kebutuhan publik yang bersifat umum dan menjadi kebutuhan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa sumber utama pembiayaan pemerintah negara bagian California adalah pajak. Pajak tersebut terutama personal income tax, sales tax dan corporate tax. Perubahan target penerimaan cukup menarik untuk disimak. Personal income tax dan sales tax proyeksi penerimaannya menurun. Padahal ekonomi sudah mulai tumbuh. Sebaliknya, pajak perusahaan proyeksi penerimaannya meningkat. Artinya, beban pajak sementara dikenakan kepada perusahaan dibandingkan kepada masyarakat .
Perbandingan Metode Pembiayaan Kota-kota di Dunia
Kota Melbourne di Australia, Kota Surabaya di Indonesia dan Negara Bagian California di Amerika Serikat secara umum memiliki metode pembiayaannya masing-masing yang berbeda yang diakibatkan oleh pertimbangan dalam keluarnya kebijakan pembiayaan pembangunan yang berbeda. Di Negara Bagian California, kebijakan diputuskan berdasarkan dasar hukum yang berlaku dalam proposition-proposition yang telah disetujui oleh House of Parliamentary. Berbedanya sudut pandang dari pemutusan kebijakan apa yang diterapkan dalam penentuan metode pembiayaan akan sangat berpengaruh walaupun pada dasarnya semua kebijakan tersebut bermuara kepada kesejahteraan rakyat yang setinggi-tinggnya.
Sebagai metode pembiayaan yang utama, setiap Pemerintah Daerah memanfaatkan metode Pay-as-you-go sebagai metode pembiayaan utama dalam melaksanakan program-program pembangunan termasuk didalamnya infrastruktur, prasarana dan sarana umum bagi masyarakat.
Pay as you go menjadi pilihan utama karena dana yang tersedia tanpa memiliki ikatan dan tersedia pada saat dibutuhkan. Namun,seiring dengan tuntutan perkembangan kawasan perkotaan, penerimaan dari sektor pajak tidak lagi mencukupi seluruh kebutuhan dalam melaksanakan pembangunan, sehingga lahirlah inovasi-inovasi dalam mencukupi kebutuhan akan pembiayaan pembangunan di kota masing-masing.
Pemerintah Kota Melbourne, selain dari pajak; mendorong pertumbuhan ekonominya dari pemasukan Public Private Partnership. Sedangkan Negara Bagian California di pantai Barat Amerika Serikat juga mendorong hubungan kerjasama Public Private Partnership untuk memperoleh dana untuk membiayai pembangunan di wilayahnya. Sedangkan di Kota Surabaya, Indonesia, pembiayaan pembangunan masih bertumpu kepada dana perimbangan antara pusat dan daerah yang seluruhnya berasal dari Pajak, baik itu pajak personal, pajak penjualan dan pajak perusahaan. Dengan demikian terlihat bahwa mekanisme pembiayaan pembangunan yang diambil pada dasarnya adalah sama, namun dengan tuntutan pemenuhan akan kebutuhan pembangunan perkotaan yang semakin kompleks dan meningkat maka masing-masing Pemerintah Daerah telah melahirkan inisiatif dan inovasi dalam mengembangkan metode-metode pembiayaan baru.
Di Indonesia, krisis multimidimensi (ekonomi, moneter, hukum dan politik) yang pernah melanda indonesia mendorong berkembangnya paradigma baru, melalui reformasi manajemen keuangan daerah. Undang-undang No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan pencanangan kebijakan untuk memperbesar dan memperkuat otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum Undang-undang tersebut diberlakukan salah satu yang menonjol di bidang keuangan publik adalah terjadi hubungan asimetris antara Pemertintah Pusat dan Daerah dengan ditandai ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terlihat bagaimana Pemerintah Kota Surabaya hanya dapat bergantung kepada dana perimbangan dan pendapatan asli Daerah. Padahal Pemerintah Daerah sebenarnya diperkenankan untuk menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan, tapi Pemerintah Daerah kurang mampu mengembangkan karena secara administrasi relatif sulit dan sumber penerimaan utama telah dimonopoli oleh Pemerintah Pusat.

KESIMPULAN
Pertumbuhan masyarakat di kawasan perkotaan, setiap tahunnya terus meningkat yang berimplikasi kepada peran dan tanggung jawab dari Pemerintah Kota yang bersangkutan. Dengan tingginya kesenjangan antara infrastruktur dan prasarana sarana yang tersedia terhadap kebutuhan masyarakat kota saat ini dan dimasa yang akan datang, menjadikan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah menjadi semakin besar biayanya.
Pemenuhan kewajiban tersebut bukanlah hal yang mudah mengingat setiap Pemerintah Kota masih harus menjaga stabilitas ekonomi dengan baik, agar defisit rencana anggaran tetap terkendali, laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan kedudukan yang positif, maupun kapasitas pembiayaan yang sehat dan berimbang. Akan tetapi, dengan sumber utama pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi (pajak) sementara pertumbuhan investasi dan produksi neto masih relatif rendah, maka kemampuan ekonomi Pemerintah dalam memenuhi pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana akan jauh dari cukup, mengingat masih ada masalah pengangguran dan kemiskinan yang selalu menjadi dilema di perkotaan.
Dalam mengatasi kebutuhan akan pembiayaan pembangunan tersebut, ada baiknya Pemerintah Kota perlu melihat kembali anatomi ekonomi Kota masing-masing saat ini. Bagaimana perubahan struktural ekonomi yang tengah berlangsung dan implikasinya bagi kebutuhan pembiayaan, agar dapat disusun suatu penguatan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada publik dimasa yang akan datang.
Menimbang masalah pembiayaan di perkotaan, kita juga harus menimbang bagaimana suatu inisiatif dan inovasi akan mampu memberikan perubahan struktural bagi ekonomi perkotaan, terutama di sektor riil dan di sektor keuangan.
Di sektor riil, permasalahan yang dihadapi sektor korporat sejak krisis ekonomi di asian dan dunia selama satu dekake terakhir dan great depression di California, menyebabkan sebagian besar perusahaan mengalami krisis. Padahal perusahan-perusahaan tersebut merupakan komponen terbesar dari struktur ekonomi yang mengandalkan sistem Pay-as-you-go atau penerimaan dari Pajak. Dengan menurunnya kinerja perusahaan, tidak hanya penerimaan pajak yang berkurang, namun Pemerintah pun harus mensubsidi BUMN yang kolaps.
Di sektor keuangan, pembiayaan pembangunan yang baik sebaiknya meminimalkan program pinjaman jangka panjang walau terkesan menguntungkan. Karena sifatnya yang berupa hutang, maka akan ada masalah hutang dalam dan luarnegeri maupun restrukturisasi kredit kepada perbankan dalam negeri. Sehingga pada akhirnya terdapat aset-aset Negara yang harus dijaminkan untuk mendukung pengembalian hutang tersebut. Di Amerika Selatan terdapat sebuah skema pembiayaan pembangunan yang sangat baik, melalui pendirian Banco del Sur (Bank selatan). Lembaga pendanaan ini menyediakan bantuan pembiayaan bagi pembangunan dengan nilai-nilai kesepakatan yang lebih pas bagi kondisi negara-negara berkembang dibandingkan apa yang dipersyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF. Ketika Asia dilanda krisis pada 1998, Jepang dan beberapa negara Asia sempat mengusulkan pembentukan sebuah lembaga pendanaan Asia, dalam bentuk Asia Monetary Funds, namun rencana ini gagal karena tidak disetujui oleh Amerika Serikat.
Sistem Pay as you go memang menyediakan pembiayaan pembangunan secara langsung dan bukan pinjaman, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga Pemerintah mau tidak mau harus mempertimbangkan model pembiayaan melalui pinjaman jangka panjang, terutama bagi pembiayaan infrastukrtur yang tidak bernilai ekonomi tinggi, namun dapat mendorong pembangunan di daerah seperti pembangunan jalan.
Namun sekali lagi, pembiayaan pembangunan melalui dana pinjaman tersebut juga berpotensi merusak struktur ekonomi secara keseluruhan, atau menjerat Pemerintah dengan beban hutang yang tinggi. Karena itu ada baiknya setiap pemerintah lebih mengutamakan untuk lebih berinisiatif dan berinovasi untuk mengembangkan skema-sekam pembiayaan yang dapat mengatasi ketergantungannya pada pembiayaan eksternal lewat peningkatan sumberdaya dalam negeri.
Pemerintah harus tanggap. Pembiayaan pembangunan harus efektif dan efisien. Pembiayaan pembangunan harus diutamakan untuk pembangunan bukan untuk belanja pegawai. Pemberian subsidi pun harus selektif.
Dengan merumuskan kembali peran lembaga keuangan terkait keterlibatannya dalam perumusan kebijakan ekonomi, melalui good policy and good governance maka pembiayaan pembangunan perkotaan yang efektif, efesien demi keberlanjutan pembangunan di pekotaan akan dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar